Jumat, 07 September 2012

Minggu, 02 September 2012

Pesona Laut Maluku Slideshow Slideshow

Pesona Laut Maluku Slideshow Slideshow: TripAdvisor™ TripWow ★ Pesona Laut Maluku Slideshow Slideshow ★ to Maluku Islands. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor

Kamis, 30 Agustus 2012

The Race & Rally Darwin - Ambon

THE RACE & RALLY

Yachts follow the rhumb line through the Arafura Sea to the Indonesian island of Sermata which peaks at 392 metres and lies east of Timor Leste. Next it’s the depths of the Banda Sea, passing close to the Island of Damar which peaks at 868 metres, and then on to Ambon. Ambon lies approx 355ยบ T from Darwin. Yachts usually enjoy fresh south-easterly winds until they enter Ambon Harbour. The hills around Ambon can rein the breezes to a zephyr – a half a knot ebbing tide can then become a major obstacle to reaching the finishing line.
On arrival all yachts are welcomed by the firing of a parachute flare. This also alerts the locals of the arrival of another vessel, and many head to the beach at the village of Amahusa to watch and welcome the newcomers. The people of Ambon are acutely aware of the economic benefits that the race brings to their city. During a stay in Ambon, almost every conceivable commodity is available at bargain prices.
Customs, Quarantine and Immigration Officers attend to the necessary paperwork before the crew is allowed ashore for a welcome shower and change of clothes. Then it’s a taxi into the city to experience the cultures of Indonesia …. but that’s another story!
The presentation ceremony in Ambon is unforgettable. It is usually held around noon on the Saturday following race start. It is truly a gala event, and is normally attended by the Governor of Maluku, the Lord Mayor of Ambon and senior Government representatives from Jakarta and the Northern Territory of Australia. All participants are adorned in their very best ceremonial attire – possibly to impress the gathering of International media who are present.
Sunday is usually reserved by the skippers and crews to invite the locals on board for a sail around the harbour. There are never enough yachts (and there never will be) to accommodate the thousands of expectant faces lined up on the shore, awaiting a beckoning wave from a crew member.
As the new week gains momentum, awnings are stowed and vessels are made ocean ready again for the next leg of an odyssey. Someone once said that exploring the back blocks of civilisation could never be done from terra firma and that’s exactly what yachting is all about.

The Race & Rally Darwin-Ambon

The Race & Rally

Rabu, 18 April 2012

Kajian Nilai Tukar Pembudidaya Rumput Laut di Kabupaten SBB, Provinsi Maluku

     
     I.  Pendahuluan
Pertambahan penduduk dan perkembangan masyarakat dunia telah menyebabkan konsumsi produk perikanan laut mengalami peningkatan. Dalam kondisi produk perikanan yang stagnan dan bahkan menurun, produk perikanan budidaya diharapkan menjadi “prime mover” pertumbuhan produk perikanan.
Salah satu komoditi unggulan produk perikanan budidaya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu komoditi laut yang sangat populer dalam perdagangan dunia karena mengandung berbagai senyawa seperti karaginan, agar dan alginate yang banyak digunakan dalam industri pangan, farmasi, kosmetika dan produk bioteknologi lainya.
Jenis rumput laut penghasil karaginan yang sangat mendominasi perdangangan internasional dan domistik saat ini adalah euchema cottonni. Jenis tersebut menunjukkan peningkatan yang cukup baik, yakni pada tahun 2003 sebesar 36.540 ton meningkat menjadi 71.927 ton pada tahun 2005.
(Biro pusat statistik. 2009. pada http://sumsel.bps.go.id/ pdf.)
      Data Statistik Perikanan Budidaya (2005) menunjukkan bahwa dari luas potensi perikanan sumberdaya lahan untuk budidaya laut Indonesia seluas ± 8.36 juta ha. Besar potensi lahan tersebut berada pada wilayah Maluku dan Papua sebesar ± 4.13 juta ha. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang untuk masyarakat pembudidaya rumput laut, pengusaha swasta dan pemerintah untuk meningkatkan produksi budidaya rumput laut Indonesia.
Maluku sebagai provinsi kepulauan memiliki luas 712.479,69 km² yang terdiri dari luas laut 658.294,69 km² (92%) dan luas daratan 54.158 km² (7,6%). Luas lautan memiliki potensi sumber daya perikanan sebesar 1.640.160 ton/tahun, hal ini disesuai dengan hasil kajian badan riset kelautan dan perikanan bekerja sama dengan pusat penelitian dan pengembangan oseanologi lembaga ilmu penggetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001. Potensi sumber daya hayati perikanan dimaksud terdiri dari biota laut yang dapat dieksploitasi secara optimal. Besarnya potensi perikanan yang tersedia telah dimanfaatkan sebesar 481.847,8 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2005).
Salah satu usaha pemerintah yang mungkin cukup membantu menyelamatkan kehidupan nelayan adalah penetapan Nilai Tukar Nelayan (NTN)  dan Nilai Tukar Pembudidaya (NTPi) yang dilakukan pemerintah pada tahun 2008 lalu. DKP bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) telah menghitung NTN per provinsi dengan perhitungan gabungan dari NTN dan Nilai Tukar Pembudidaya ikan (NTPi). Penghitungan NTPi ini juga dilakukan, karena unsur ekonomi dua kelompok perikanan ini sangat berbeda, baik biaya penerimaan, apalagi biaya pengeluaran.(Marza. 2009 pada http://medanbisnisonline.com)
Jadi, mulai saat ini kelompok masyarakat pesisir yang sering dikatagorikan sebagai segmen masyarakat mayoritas miskin ini telah memiliki ukuran nilai tukar yang lebih akurat. Dengan adanya NTPi kita dapat melihat kondisi pembudidaya lebih jelas setiap bulan, baik dalam musim paceklik atau musim panen. Akan lebih mudah mengetahui tingkat kesejahteraan pekerja di sektor kelautan dan perikanan. Demikian juga terhadap berbagai faktor ekonomi yang mempengaruhinya.
Pada dasarnya, nilai tukar ini umumnya digunakan untuk menyatakan perbandingan antara harga barang-barang dan jasa yang diperdagangkan antara dua atau lebih negara, sektor, atau kelompok sosial ekonomi. Begitu pun NTPi, digunakan untuk mempertimbangkan seluruh penerimaan (revenue) dan seluruh pengeluaran (expenditure) keluarga pembudidaya. Selain itu, NTPi juga digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat pembudidaya secara relatif dan merupakan ukuran kemampuan keluarga pembudidaya untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya. Dengan demikian, akan diperoleh ukuran tingkat kesejahteraan pembudidaya yang semakin lebih akurat dan obyektif.
Upaya meningkatkan produksi perikanan dapat di tempuh melalui usaha budidaya, baik di darat maupun di laut. Budidaya rumput laut merupakan salah satu jenis budidaya dibidang perikanan yang mempunyai peluang untuk dikembangkan di wilayah perairan Indonesia. Budidaya rumput laut memiliki peranan penting dalam usaha meningkatkan produksi perikanan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta memenuhi kebutuhan pasar dalam dan luar Negeri, memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan atau petani ikan serta menjaga kelestarian sumber hayati perairan (Poncomulyo dkk, 2006).
Di Maluku salah satu Kabupaten yang memiliki potensi untuk membudidayakan rumput laut adalah di  Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Usaha budidaya rumput laut di kabupaten ini telah lama dilakukan dan umumnya dilaksanakan oleh masyarakat dari Sulawesi Tenggara. Umumnya usaha budidaya rumput laut masih bersifat skala kecil dengan manajemen pengolahan dan pengaturan keuangan yang masih sederhana namun memiliki kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan usaha perikanan di kabupaten SBB dan meningkatkan kesejahteraan nelayan pembudidaya di sana. Berdasarkan latar belakang tersebut maka pada penulisan ini ingin disampaikan beberapa kajian tentang Nilai Tukar (Terms of Trade) Nelayan Pembudidaya Rumput laut yang mengarah pada kemampuan mereka mengalokasikan pendapatan dan pengeluaran mereka selama 3 bulan (Triwulan) dari usaha yang digeluti tersebut.

II. Metodologi  Penelitian
Metode dasar yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode survei. Dimana wawancara dilakukan secara langsung dengan menggunakan kuisioner kepada pembudidaya yang menjalankan usaha budidaya rumput laut.
Metode survei adalah penyelidikan yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dan gejal-gejala yang ada, mencari keterangan nyata secara baik tentang institusi sosial, ekonomi atau politik dari suatu kelompok atau suatu daerah (Nazir, 2003).
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data mentah (raw data) karna  para peneliti hanya dapat menggali dan memperoleh jenis data ini dari sumber pertama, yaitu responden. Respondennya berupa masyarakat biasa, pengusaha-pengusaha, pimpinan lembaga-lembaga penelitian dan lain-lain (Teguh, 2005). Data primer dikumpulkan langsung dari responden dilapangan dengan menggunakan kuisioner sebagai pedoman wawancara. Data primer yang di perlukan yaitu :
-          Karakterisrik responden pembudidaya rumput laut berupa : nama, umur, besar keluarga, pendidikan terakhir dan pengalaman usaha.
-          Tingkat pendapatan dan daya beli keluarga pembudidaya.
Data sekunder adalah jenis data yang diperoleh dan digali melalui hasil pengolahan pihak kedua dari hasil penelitian lapangannya, baik berupa kualitatif maupun data kuantitatif. Data sekunder ini dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti perusahaan swasta, perusahan pemerintah dan perguruan-perguruan tinggi swasta adan pemerintah, lembaga-lembaga penelitian swasta dan pemerintah maupun instansi-instansi pemerintah baik yang berada di tingkat paling bawah yaitu Desa maupun berada di tingkat pusat (Teguh, 2005). Dengan kata lain data sekunder merupakan data yang didapat lewat penelusuran ke instansi-instansi terkait dengan penelitian yang dilakukan.
 Metode Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pembudidaya rumput laut di Teluk Kotania Seram Bagian Barat yang masih aktif melakukan usaha pembudidayaan rumput laut. Pengambilan sampel pada pembudidaya diambil dengan cara sampling jenuh atau exhausting sampling dan purposive sampling atau pengambilan sampel secara sengaja.
Umar, (2005) mengatakan bahwa proposive sampling adalah pemilihan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkutpaut dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sampel yang diambil sebanyak 50 KK (Kepala Keluarga) pembudidaya dari populasi 125 KK usaha budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii dengan menggunakan metode budidaya rawai (long line method) yang aktif.
Namun dalam penelitian ini, didalam sampel terdapat 20 KK yang merupakan pembudidaya yang aktif melakukan budidaya pada Musim Timur dan Musim Barat.  dan 30 KK pembudidaya yang aktif melakukan usaha hanya pada Musim Timur saja. Jadi sampel dibagi menjadi dua kelompok, kelompol Musim Timur-Barat dan kelompok Musim Timur saja.

                                   Metode Analisis Data
                 Data yang dikumpulkan, ditabulasi dan di analisis sesuai dengan kebutuhan. Data dianalisis secara  
                 kualitatif maupun kuntitatif sebagai berikut:
-          Untuk menganalisis aspek manajemen organisasi yang diterapkan dalam usaha budidaya rumput laut di  Perairan Teluk Kotania Kabupaten Seram Bagian Barat digunakan metode deskriptif komulatif secara kualitatif.
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nazir,2003).
-          Untuk menganalisis daya beli pembudidaya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga pembudidaya rumput laut di Dusun Wael dan Dusun Pulau Osi Kabupaten Seram Barat digunakan analisis nilai tukar pembudidaya (NTPi). Menurut Basuki, dkk (2001) Nilai Tukar Pembudidaya adalah rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga pembudidaya selama periode waktu tertentu. Dalam hal ini, pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan kotor atau disebut sebagai penerimaan rumah tangga pembudidaya. Nilai tukar pembudidaya (NTPi) dan (INTPi) dapat dirumuskan sebagai berikut :
NTPi = Yt / Et
Yt      = YFt + YNFt
Et       = EFt + EKt
Dimana:
YFt    = total penerimaan nelayan dari usaha perikanan (Rp)
YNFt = total penerimaan nelayan dari non perikanan (Rp)
EFt    = total pengeluaran nelayan dari usaha perikanan (Rp)
EKt   = total pengeluaran nelayan dari konsumsi keluarga nelayan (Rp)
t        = periode waktu (triwulan).
Perkembangan NTPi dapat ditunjukkan dalam Indeks Nilai Tukat Pembudidaya (INTPi). INTPi adalah rasio antara indeks total pendapatan terhadap indeks total pengeluaran rumah tangga pembudidaya selama waktu tertentu. Hal ini dapat di rumuskan sebagai berikut:
INTPi = (IYt /IEt) x 100%
IYt      = (Yt / Ytd) x 100%
IEt      = (Et / Etd) x 100%
Dimana:
                 INTPi  = indeks nilai tukar pembudidaya periode t                       

                   IYt     = indeks total pendapatan keluarga nelayan periode t                            
                    Yt      = total pendapatan keluarga nelayan periode t
                    Ytd    = total pendapatan keluarga nelayan periode dasar                           
                    IEt     = indeks total pengeluaran keluarga nelayan periode t                          
                    Et      = total pengeluaran keluarga nelayan periode t                      
                    Etd    = total pengeluaran keluarga nelayan periode dasar                           
                     t        = periode waktu  (triwulan)


- Untuk menganalisis distribusi pendapatan pembudidaya digunakan kurva Lorenz dan Koefisien Gini. Secara matematis dapat ditulis:
                     n
KG = 1 - ∑.  Fi (Xi+1- Xi) (Yi + Y i+1)    atau 
                1
    n
KG = 1 - ∑.  Fi (Y i+1 + Yi)
                1
Dimana:
KG    = angka koefisien gini
Xi      = proporsi jumlah tangga kumulatif dalam kelas i
Yi      = proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif dalam kelas i
Xi+1  = proporsi jumlah rumah tangga kumulatif sesudah kelas i
Yi+1  = proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif sesudah kelas
Fi       = proporsi rumah tangga kelas i
Kelas = jika dibagi dalam 3 kelas menjadi :
33.33% miskin
33.33 % menengah
33.33% kaya

Menurut criteria H.T. Oshima ketidakmerataan rendah angka gini kurang dari 0.3; ketidakmerataan sedang bila angka gini antara 0.3 – 0.5; dan ketidak merataan tinggi bila angka gini diatas 0.5 (Widodo, 1990).

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada Pembudidaya Rumput Laut di  Teluk Kotania Kabupaten Seram Bagian Barat yang berasal dari Dusun Pulau Osi dan Dusun Wael dan  berlangsung selama 6 Bulan. Jadwal pelaksanaan mulai dari Bulan  November, Desember, Januari, Februari, Maret dan April tahun 2009



Jumat, 23 Maret 2012

KONTROVERSI KENAIKAN BBM OLEH PEMERINTAH INDONESIA


Oleh Ekonom Kwik Kian Gie

Disampaikan pada Seminar Nasional Institut Bisnis & Informatika Indonesia (IBII)
Jakarta, 21 Maret 2012
PENGANTAR
Dalam paparan ini saya memberlakukan penyederhanaan atau simplifikasi dengan maksud untuk memperoleh gambaran yang sangat jelas tentang esensinya saja.

Maka saya mengasumsikan bahwa semua minyak mentah Indonesia dijadikan satu jenis BBM saja, yaitu bensin Premium. Metode ini sering digunakan untuk memperoleh gambaran tentang esensi atau inti permasalahannya. Metode ini dikenal dengan istilah method of decreasing abstraction, terutama kalau dilanjutkan dengan penyempurnaan dengan cara memasukkan semua detil dari data dan kenyataan, yang dikenal dengan istilah putting the flesh on the bones.

Cara perhitungan yang saya lakukan dan dijadikan dasar untuk paparan hari ini ternyata 99% sama dengan perhitungan oleh Pemerintah yang tentunya sangat mendetil dan akurat.

Dengan data dan asumsi yang sama, Pemerintah mencantumkan kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,8 trilyun, dan saya tiba pada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 97,955 trilyun.


PERMASALAHAN

Kepada masyarakat diberikan gambaran bahwa  setiap kali harga minyak mentah di pasar internasional meningkat, dengan sendirinya pemerintah harus mengeluarkan uang esktra, dengan istilah “untuk membayar subsidi BBM yang membengkak”.

Harga minyak mentah di pasar internasional selalu meningkat. Sebabnya karena minyak mentah adalah fosil yang tidak terbarui (not renewable). Setiap kali minyak mentah diangkat ke permukaan bumi, persediaan minyak di dalam perut bumi berkurang. Pemakaian (konsumsi) minyak bumi sebagai bahan baku BBM meningkat terus, sehingga permintaan yang meningkat terus berlangsung bersamaan dengan berkurangnya cadangan minyak di dalam perut bumi. Hal ini membuat bahwa permintaan senantiasa meningkat sedangkan berbarengan dengan itu, penawarannya senantiasa menyusut.

Sejak lama para pemimpin dan cendekiawan Indonesia berhasil di “brainwash” dengan sebuah doktrin yang mengatakan : “Semua minyak mentah yang dibutuhkan oleh penduduk Indonesia harus dinilai dengan harga internasional, walaupun kita mempunyai minyak mentah sendiri.” Dengan kata lain, bangsa Indonesia yang mempunyai minyak harus membayar minyak ini dengan harga internasional.

Harga BBM yang dikenakan pada rakyat Indonesia tidak selalu sama dengan ekivalen harga minyak mentahnya. Bilamana harga BBM lebih rendah dibandingkan dengan ekivalen harga minyak mentahnya di pasar internasional, dikatakan bahwa pemerintah merugi, memberi subsidi untuk perbedaan harga ini. Lantas dikatakan bahwa “subsidi” sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan pemerintah tidak memilikinya. Maka APBN akan jebol, dan untuk menghindarinya, harga BBM harus dinaikkan.

Pikiran tersebut adalah pikiran yang sesat, ditinjau dari sudut teori kalkulasi harga pokok dengan metode apapun juga. Penyesatannya dapat dituangkan dalam angka-angka sebagai berikut.

Harga bensin premium yang Rp. 4.500 per liter sekarang ini ekivalen dengan harga minyak mentah sebesar US$ 69,50 per barrel. Harga yang berlaku US$ 105 per barrel. Lantas dikatakan bahwa pemerintah merugi US$ 35,50 per barrel. Dalam rupiah, pemerintah merugi sebesar US$ 35,50 x Rp. 9.000 = Rp. 319.500 per barrel. Ini sama dengan Rp. 2009, 43 per liter (Rp. 319.500 : 159). Karena konsumsi BBM Indonesia sebanyak 63 milyar liter per tahun, dikatakan bahwa kerugiannya 63 milyar x Rp. 2009,43 = Rp. 126,59 trilyun per tahun. Maka kalau harga bensin premium dipertahankan sebesar Rp. 4.500 per liter, pemerintah merugi atau memberi subsidi sebesar Rp. 126,59 trilyun. Uang ini tidak dimiliki, sehingga APBN akan jebol.

Pikiran yang didasarkan atas perhitungan di atas sangat menyesatkan, karena sama sekali tidak memperhitunkan kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki minyak mentah sendiri di dalam perut buminya.

Pengadaan BBM oleh Pertamina berlangsung atas perintah dari Pemerintah. Pertamina diperintahkan untuk mengadakan 63 milyar liter bensin premium setiap tahunnya, yang harus dijual dengan harga Rp. 4.500 per liter. Maka perolehan Pertamina atas hasil penjualan bensin premium sebesar 63.000.000.000 liter x Rp. 4.500 = Rp. 283,5 trilyun.


Pertamina disuruh membeli dari:

Pemerintah                   37,7808  milyar  liter    dengan harga  Rp. 5.944/liter    =     Rp. 224,5691tr
Pasar internasional    25,2192  milyar  liter    dengan harga  Rp. 5.944/liter    =     Rp. 149,903 tr
      

Jumlahnya                    63       milyar liter    dengan harga  Rp. 5.944/liter          =     Rp. 374,4721 tr
          
Biaya LRT                     63       milyar liter @Rp. 566                                                       Rp.   35,658 tr
      

Jumlah Pengeluaran Pertamina                                                                                      Rp. 410,13 tr
          
Hasil Penjualan Pertamina    63 milyar liter @ Rp. 4.500                                           Rp. 283,5 tr
      

PERTAMINA DEFISIT/TEKOR/KEKURANGAN TUNAI                                                  Rp. 126,63 tr.
=============


Tabel di atas menunjukkan bahwa setelah menurut dengan patuh apa saja yang diperintahkan oleh Pemerintah, Pertamina kekurangan uang tunai sebesar Rp. 126,63 trilyun.

Pemerintah menambal defisit tersebut dengan membayar tunai sebesar Rp. 126,63 trilyun yang katanya membuat jebolnya APBN, karena uang ini tidak dimiliki oleh Pemerintah.

Ini jelas bohong di siang hari bolong. Kita lihat baris paling atas dari Tabel dengan huruf tebal (bold), bahwa Pemerintah menerima hasil penjualan minyak mentah kepada Pertamina sebesar Rp. 224,569 trilyun. Jumlah penerimaan oleh Pemerintah ini tidak pernah disebut-sebut. Yang ditonjol-tonjolkan hanya tekornya Pertamina sebesar Rp. 126,63 trilyun yang harus ditomboki oleh Pemerintah.

Kalau jumlah penerimaan Pemerintah dari Pertamina ini tidak disembunyikan, maka hasilnya adalah:

•    Pemerintah menerima dari Pertamina sejumlah                Rp. 224,569 trilyun
  
•    Pemerintah menomboki tekornya Pertamina sejumlah    (Rp. 126,63 trilyun)
  

•    Per saldo Pemerintah kelebihan uang tunai sejumlah      Rp. 97,939 trilyun
===============


TEMPATNYA DALAM APBN

Kalau memang ada kelebihan uang tunai dalam Kas Pemerintah, di mana dapat kita temukan dalam APBN 2012 ?

Di halaman 1 yang saya lampirkan, yaitu yang dirinci ke dalam :

•    Pos “DBH (Dana Bagi Hasil) sejumlah             Rp. 45,3 trilyun
•    Pos “Net Migas” sejumlah                                    Rp. 51,5 trilyun

•    Jumlahnya                                                               Rp. 96,8 trilyun
                            =============

Perbedaan dengan perhitungan saya sejumlah Rp. 1,1 trilyun disebabkan karena Pemerintah menghitungnya dengan data lengkap yang mendetil.

Saya menghitungngya dengan penyederhanaan/simplifikasi guna memperoleh esensi perhitungan bahwa Pemerintah melakukan kehohongan publik. Bedanya toh ternyata sama sekali tidak signifikan, yaitu sebesar Rp. 1,1 trilyun atau 1,14 % saja.

“SUBSIDI” BUKAN PENGELUARAN UANG TUNAI

Dalam pembicaraan tentang BBM, kata “subsidi BBM” yang paling banyak dipakai. Kebanyakan dari elit bangsa kita, baik yang ada di dalam pemerintahan maupun yang di luar mempunyai pengertian yang sama ketika mereka mengucapkan kata “subsidi BBM”.

Ketika mulut mengucapkan dua kata “subsidi BBM”, otaknya mengatakan “perbedaan antara harga minyak mentah internasional dengan harga yang dikenakan kepada bangsa Indonesia.” Ketika mulut mengucapkan “Subsidi bensin premium sebesar Rp. 2.009 per liter”, otaknya berpikir : “Harga minyak mentah USD 105 per barrel setara dengan dengan Rp. 6.509 per liter bensin premium, sedangkan harga bensin premium hanya Rp. 4.500 per liter”.

Mengapa para elit itu berpikir bahwa harga minyak mentah yang milik kita sendiri harus ditentukan oleh mekanisme pasar yang dikoordinasikan oleh NYMEX di New York ?

Karena mereka sudah di brain wash bahwa harga adalah yang berlaku di pasar internasional pada saat mengucapkan harga yang bersangkutan. Maka karena sekarang ini harga minyak mentah yang ditentukan dan diumumkan oleh NYMEX sebesar USD 105 per barrel atau setara dengan bensin premium seharga Rp. 6.509 per liter, dan harga yang diberlakukan untuk bangsa Indonesia sebesar Rp. 4.500 per liter, mereka teriak : “Pemerintah merugi sebesar Rp. 2.009 per liter”. Karena konsumsi bangsa Indonesia sebanyak 63 milyar liter per tahun, maka Pertamina merugi Rp. 126,567 trilyun per tahun.

Selisih ini disebut “subsidi”, dan lebih konyol lagi, karena lantas mengatakan bahwa “subsidi” ini sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan”. Bahwa ini tidak benar telah dijelaskan.


UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI
Pikiran hasil brain washing tersebut berakar dalam UU nomor 22 tahun 2001. Pasal 28 ayat 2 berbunyi : “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Ini berarti bahwa rakyat harus membayar minyak yang miliknya sendiri dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX di New York. Kalau harganya lebih rendah dikatakan merugi, harus mengeluarkan tunai yang tidak dimiliki dan membuat APBN jebol.

Seperti yang baru saya katakan tadi pikiran seperti itu tidak benar. Yang benar yalah pengeluaran uang tunai untuk pemompaan minyak sampai ke atas muka bumi (lifting) ditambah dengan pengilangan sampai menjadi BBM (refining) ditambah dengan pengangkutan sampai ke pompa-pompa bensin (transporting), seluruhnya sebesar USD 10 per barrel. Dengan kurs yang 1 USD = Rp. 9.000, uang tunai yang dikeluarkan untuk menghasilkan 1 liter premium sebesar Rp. 566.

BAGAIMANA UUD HARUS DITAFSIRKAN TENTANG KEBIJAKAN MINYAK ?

Menurut UUD kita harga BBM tidak boleh ditentukan oleh siapapun juga kecuali oleh hikmah kebijaksanaan yang sesuai dengan kepatutan, daya beli masyarakat dan nilai strategisnya bagi sektor-sektor kehidupan ekonomi lainnya. Mengapa ? Karena BBM termasuk dalam “Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak”.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 28 ayat (2) dari UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas bertentangan dengan UUD RI. Putusannya bernomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang dasar Republik Indonesia.”

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2004 pasal 72 ayat (1)
Brain washing begitu berhasilnya , sehingga Putusan MK ini disikapi dengan Peraturan Pemerintah nomor 36 Tahun 2004. Pasal 72 ayat (1) berbunyi : “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi, kecuali gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.”

Ini benar-benar keterlaluan, karena UUD dan MK dilecehkan dengan PP.

Jelas Pemerintah telah berpikir, berucap dan bertinak yang bertentangan dengan UUD kita dalam kebijakannya tentang BBM. Toh tidak ada konsekwensinya apa-apa. Toh Pemerintah akan memberlakukannya dengan merujuk pada Undang-Undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.

APA MAKSUD DAN DAMPAK DARI MEMPERTAHANKAN BERLAKUNYA UU NO. 22 TAHUN 2001 ?
Maksudnya jelas, yaitu supaya mendarah daging pada rakyat Indonesia bahwa mereka harus membayar harga BBM (bensin) dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX. Bahkan setiap hari harga BBM harus bergejolak sesuai dengan fluktuasi harga minyak mentah yang diumumkan oleh NYMEX setiap beberapa menit sekali.

Harian Kompas tanggal 17 Mei 2008 memuat pernyataan Menko Boediono (yang sekarang menjabat Wakil Presiden) yang berbunyi : “Pemerintah akan menyamakan harga bahan bakar minyak atau BBM untuk umum di dalam negeri dengan harga minyak di pasar internasional secara bertahap mulai tahun 2008……..dan Pemerintah ingin mengarahkan kebijakan harga BBM pada mekanisme penyesuaian otomatis dengan harga dunia.”

Harian Indopos tanggal 3 Juli 2008 mengutip Presiden SBY yang mengatakan :”Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun.” “Kalau (harga minyak) USD 160, gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM.”

Jelas bahwa Presiden SBY sudah teryakinkan bahwa yang dikatakan dengan subsidi memang sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan. Hal yang sama sekali tidak benar, seperti yang diuraikan di atas tadi.

SHELL SUDAH MENJALANKAN HARGA BBM NAIK TURUN OTOMATIS DENGAN NAIK TURUNNYA HARGA MINYAK DI PASAR INTERNASIONAL
Barang siapa membeli bensin dari pompa Shell akan mengalami bahwa harga naik turun. Pada tanggal 18 Maret 2012 harga bensin super Shell Rp. 9.550 per liter.

Harga Rp. 9.550 dikurangi dengan biaya LTR sebesar Rp. 566 = Rp. 8.984 per liter. Dengan kurs 1 USD = Rp. 9.000, harga ini setara dengan harga minyak mentah USD 0,9982 per liter atau USD 159 minyak mentah per barrel. Harga minyak mentah di pasar internasional USD 105 per barrel. Shell mengambil untung dari rakyat Indonesia sebesar USD 54 per barrel atau USD 0,34 per liter,  yang sama dengan Rp. 3.057 per liternya. Ini kalau minyak mentahnya dibeli dari pasar internasional dengan harga USD 105 per barrel. Tetapi kalau minyak mentahnya berasal dari bagiannya dari kontrak bagi hasil, bayangkan berapa untungnya !!

PEMERINTAH BERANGGAPAN BAHWA PENENTUAN HARGA BBM KEPADA RAKYATNYA SENDIRI HARUS SAMA DENGAN YANG DILAKUKAN OLEH SHELL
Sekarang menjadi lebih jelas lagi bahwa Pemerintah merasa dan berpendapat (sadar atau tidak sadar) bahwa Pemerintah harus mengambil untung yang sama besarnya dengan keuntungan yang diraih oleh Shell dari rakyat Indonesia, bukan menutup defisit BBM dalam APBN, karena defisitnya tidak ada. Sebaliknya, yang ada surplus atau kelebihan uang tunai.

BENSIN PERTAMAX DARI PERTAMINA SUDAH MEMBERI UNTUNG SANGAT BESAR KEPADA PERTAMINA

Harga bensin Pertamax Rp. 9.650 per liter. Dikurangi dengan biaya LTR sebesar Rp. 566 menjadi setara dengan harga minyak mentah sebesar Rp. 9.084/liter. Dengan kurs 1 USD = Rp. 9.000, per liternya menjadi USD 1,0093, dan per barrel (x 159) menjadi USD 160,48. Untuk bensin Pertamax, Pertamina sudah mengambil untung sebesar USD 55,48 per barrelnya.

Nampaknya Pemerintah tidak rela kalau untuk bensin premium keuntungannya tidak sebesar ini juga.

MENGAPA RAKYAT MARAH ?

Kita saksikan mulai maraknya demonstrasi menolak kenaikan harga bensin premium. Bukan hanya karena kenaikan yang akan diberlakukan oleh Pemerintah memang sangat memberatkan, tetapi juga karena rakyat dengan cara pikir dan bahasanya sendiri mengerti bahwa yang dikatakan oleh Pemerintah tidak benar.

Banyak yang menanyakan kepada saya : Kita punya minyak di bawah perut bumi kita. Kenapa kok menjadi sedih kalau harganya meningkat ? Orang punya barang yang harganya naik kan seharusnya lebih senang ?

Dalam hal minyak dan bensin, dengan kenaikan harga di pasar internasional bukankah kita harus berkata : “Untunglah kita punyak minyak sendiri, sehingga harus mengimpor sedikit saja.”

ADAKAH NEGARA YANG MENJUAL BENSINNYA ATAS DASAR KEBIJAKANNYA SENDIRI, TIDAK OLEH NYMEX ?

Ada. Fuad Bawazir mengirimkan sms kepada saya dengan data tentang negara-negara yang menjual bensinnya dengan harga yang ditetapkannya sendiri, yaitu :

•    Venezuela          : Rp. 585/liter
•    Turkmenistan    : Rp. 936/liter
•    Nigeria                : Rp. 1.170/liter
•    Iran                       : Rp. 1.287/liter
•    Arab Saudi          : Rp. 1.404/liter
•    Lybia                    : Rp. 1.636/liter
•    Kuwait                  : Rp. 2.457/liter
•    Qatar                    : Rp. 2.575/liter
•    Bahrain                : Rp. 3.159/liter
•    Uni Emirat Arab  : Rp. 4.300/liter



 KESIMPULAN

Kesimpulan dari paparan kami yalah :

1.    Pemerintah telah melanggar UUD RI

2.    Pemerintah telah mengatakan hal yang tidak benar kepada rakyatnya, karena mengatakan mengeluarkan uang tunai sebesar Rp. 126 tr, sedangkan kenyataannya kelebihan uang tunai sebesar Rp. 97,955 trilyun.

3.    Dengan menaikkan premium menjadi Rp. 6.000 per liter, Pemerintah ingin memperoleh kelebihan yang lebih besar lagi, yaitu sebesar Rp. 192,455 trilyun.

4.    Pertamina sudah mengambil keuntungan besar dari rakyat Indonesia dalam hal bensin Pertamax dan Pertamax Plus. Nampaknya tidak rela hanya memperoleh kelebihan uang tunai sebesar Rp. 97,955 trilyun dari rakyatnya. Maunya sebesar Rp. 192,455 trilyun dengan cara menaikkan harga bensin premium menjadi Rp. 6.000 per liter.

5.    Pemerintah menuruti (comply) dengan aspirasi UU no. 22 tahun 2001 yang menghendaki supaya rakyat Indonesia merasa dan berpikir bahwa dengan sendirinya kita harus membayar bensin dengan harga dunia, agar dengan demikian semua perusahaan minyak asing bisa memperoleh laba dengan menjual bensin di Indonesia, yang notabene minyak mentahnya dari Indonesia sendiri.

Bukankah Shell, Petronas, Chevron sudah mempunyai pompa-pompa Bensin ??????????

Kamis, 02 Februari 2012

Kaitan Sektor Perikanan & Kelautan dengan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)



I.      Pendahuluan

Sepanjang sejarah kemerdekaan selama lebih dari enam dasawarsa ini, Indonesia telah mengalami beragam kemajuan di bidang pembangunan ekonomi. Bermula dari sebuah negara yang perekonomiannya berbasis kegiatan pertanian tradisional, saat ini Indonesia telah menjelma menjadi negara dengan proporsi industri manufaktur dan jasa yang lebih besar. Kemajuan ekonomi juga telah membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang tercermin tidak saja dalam peningkatan pendapatan per kapita, namun juga dalam perbaikan berbagai indikator sosial dan ekonomi lainnya termasuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam periode 1980 dan 2010, Indeks Pembangunan Manusia meningkat dari 0,39 ke 0,60. Indonesia juga memainkan peran yang makin besar di perekonomian global. Saat ini Indonesia menempati urutan ekonomi ke-17 terbesar di dunia. Keterlibatan Indonesia pun sangat diharapkan dalam berbagai forum global dan regional seperti ASEAN, APEC, G-20, dan berbagai kerjasama bilateral lainnya.
Keberhasilan Indonesia melewati krisis ekonomi global tahun 2008, mendapatkan apresiasi positif dari berbagai lembaga internasional. Hal ini tercermin dengan perbaikan peringkat hutang Indonesia di saat peringkat negara-negara lain justru mengalami penurunan. Di sisi lain, tantangan ke depan pembangunan ekonomi Indonesia tidaklah mudah untuk diselesaikan. Dinamika ekonomi domestik dan global mengharuskan Indonesia senantiasa siap terhadap perubahan. Keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan Indonesia mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. Dalam konteks inilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari perlunya penyusunan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk memberikan arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga 2025.  Melalui percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi ini, perwujudan kualitas Pembangunan Manusia Indonesia sebagai bangsa yang maju tidak saja melalui peningkatan pendapatan dan daya beli semata, namun dibarengi dengan membaiknya pemerataan dan kualitas hidup seluruh bangsa.
Diperlukan langkah - langkah yang lebih cerdas dan fokus dengan tolok ukur dan pola manajemen yang jelas. Pengembangan MP3EI dilakukan dengan pendekatan terobosan (breakthrough) dan bukan “Business As Usual”. MP3EI dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi berimbang berkeadilan dan berkelanjutan. Pada saat yang sama, melalui langkah  percepatan tersebut Indonesia akan dapat mendudukkan dirinya sebagai sepuluh negara besar di dunia pada tahun 2025 dan enam negara besar dunia pada tahun 2050. Masterplan ini memiliki dua kata kunci, yaitu percepatan dan perluasan. Dengan adanya masterplan ini, diharapkan Indonesia mampu mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan yang ada, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi bangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan SDM dan Iptek. Percepatan pembangunan ini diharapkan akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya. Selain percepatan Pemerintah juga mendorong perluasan   pembangunan ekonomi Indonesia agar efek positif dari pembangunan ekonomi Indonesia dapat dirasakan tidak saja di semua daerah di Indonesia tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat diseluruh wilayah Nusantara.
Adanya MP3EI ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggantikan RPJM Nasional ataupun proses perencanaan pembangunan nasional dan daerah yang selama ini berjalan. Justru sebaliknya, dokumen MP3EI ini berfungsi sebagai dokumen kerja yang komplemen terterhadap dokumen-dokumen perencanaan pembangunan yang ada tersebut. Untuk mendapatkan manfaat yang konkret serta dampak yang terukur, langkah - langkah percepatan dan perluasan ini dirumuskan secara terfokus, berdasarkan kesepakatan dengan semua pemangku kepentingan terkait. Telah ditetapkan 8 program utama dan 22 kegiatan ekonomi utama. Selain itu,juga telah ditetapkan 6 (enam) koridor ekonomi sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang diharapkan dapat mendorong perkembangan ekonomi di seluruh wilayah Nusantara. Dengan demikian, para pelaku ekonomi dapat memilih bidang usahanya secara jelas sesuai dengan minat maupun keunggulan potensi wilayahnya.

II.    Tantangan Sektor  Perikanan dan  Kelautan  dalam  MP3EI
  • Sebagai Negara yang memiliki luas laut yang sangat besar dibandingkan luas daratan-nya maka Indonesia seharusnya menitikberatkan program pembangunan pada bidang kelautan dan perikanan. Dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam perikanan dan kelautan serta melihat beberapa regulasi pemerintah terkait dengan sektor kelautan dan perikanan maka melalui makalah ini saya ingin menjelaskan urgensi Penerapan Masterplan Percepatan dan Perluasan  Ekonomi Indonesia pada Bidang Kelautan Perikanan sebagai bahan perenungan bersama. Masalahnya dalam proses berbangsa dan bernegara  TIDAK terlihat adanya Arah Kebijakan dan Implementasi Kebijakan yang menopang Wawasan Kemaritiman, karena itu perlu adanya Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) yang menjadi Pedoman bagi Sektor – sektor terkait dengan Kelautan dalam pelaksanaan program pembangunannya. Beberapa Masalah Pembangunan Ekonomi Sektor Kelautan dan Perikanan aktual yang merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara eksternal maupun internal  perlu dikemukakan sehingga harapan adanya “Ocean Policy” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terwujud.   
  • Masalah Pandangan Birokrasi Pemerintahan terutama dalam pengalokasian Anggaran. Pada setiap Kementerian dan pada Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia. Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipersoalkan 8 (delapan) Provinsi Kepulauan yang tidak mengakomodasikan Luas Lautan sehingga alokasi dana tersebut dianggap diskriminasi oleh mereka.
  • Masalah  konflik Blok Ambalat di Provinsi Kalimantan Timur  dengan  Malaysia, karena pelanggaran territorial laut Indonesia Malaysia. Hal ini juga karena Malaysia masih belum meratifikasi UNCLOS. Kita tahu bersama bahwa potensi Blok Ambalat dengan Minyak dan gas alam membuat wilayah maritim ini menjadi perseteruan antar dua negara.
  • Masalah  pulau Nipah akibat reklamasi di Negara Singapura dan ekspor pasir ke Singapura serta masalah - masalah pembangunan  20  pulau - pulau terdepan lainnya dengan 9 (Sembilan) Negara tetangga yang menjadi titik perhitungan 12 mil laut Indonesia dan 200 mil ZEE Indonesia. 
  • Masalah Pencemaran Laut di beberapa daerah di Indonesia seperti di Teluk Jakarta, Perairan Cirebon dan Indramayu, Perairan disekitar kota Surabaya, Selat Bali, Perairan Bali Timur, Nusa Tengara Timur dan lain-lain. Hal ini menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran sumberdaya ikan pada wilayah-wilayah tersebut dan mengakibatkan pertaruhan untuk menangkap ikan memiliki nilai cost yang lebih besar dibandingkan dengan benefit yang diperoleh.
  • Permasalahan IUU (i-legal, Un-Reported and Un-Regulated) di Indonesia yang bukan saja dilakukan oleh masyarakat tradisional tetapi juga secara sistematis dilaksanakan oleh perusahan-perusahan besar baik domestik maupun perusahaan penangkapan asing. Hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya kekaburan data dan informasi tentang perikanan khususnya perikanan tangkap di Indonesia terutama dari aspek ekonomi produksi dan pemasaran.
  • Masalah Penyewaan Pulau-pulau kecil kepada perusahan swasta yang dikemukakan dengan Istilah “Adopsi Pulau” oleh  Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (KP3K) Bpk Sudirman Saad.  Program adopsi pulau ini diperun­tu­kan bagi perusahaan atau investor swasta dengan konsep nonprofit.   Saat ini sudah ada perusahaan yang tertarik ikut dalam program adopsi pulau tersebut, yakni Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen KP3K  juga mengadakan hubungan bilateral dengan Kementerian BUMN untuk program adopsi pulau ini.
  • Masalah terbatasnya Sarana dan Prasarana serta Infrastruktur yang menunjang pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan, seperti Pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) dan Pelabuhan Perikanan Nusantara yang masih sedikit ; Kapal – kapal perang maupun kapal – kapal perikanan yang masih sedikit dengan begitu luasnya Nusantara, dll. Bila dibandingkan dengan Negara lain maka terlihat kita masih sangat tertinggal.

  • Pengelolaan Kepelabuhanan di Indonesia yang masih lemah dan belum dilaksanakan secara professional. Contoh konkret yang terjadi di Pelabuhan Merak, Provinsi Banten kemacetan selama beberapa bulan yang menyebabkan kerugian 1,7 triliun.  Diluar masalah lemahnya pengelolaan pelabuhan di Indonesia, pasca implementasi Undang-Undang 17/2008 tentang Pelayaran, kini terbuka persaingan dalam memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan. Rencana pembangunan pelabuhan “Hub Port” pun mencuat. Yang menjadi pertanyaan besar, mampukah Pelindo, sebagai operator pelabuhan Indonesia, bersaing dengan pelabuhan di luar negeri yang lebih baik.  Secara geografis Indonesia sangat diuntungkan dalam sistem perdagangan internasional melalui laut (sea borne traffic) karena menjadi lintasan kapal niaga dari mancanegara. Namun, keuntungan itu tidak dapat dioptimalkan sebagai sebuah peluang karena kebijakan yang keliru. Sudah saatnya Indonesia mempunyai International Hub Port.
  • Masalah dari Hilir sampai dengan Hulu Industri Perikanan dan Kelautan di Indonesia dengan upaya untuk meningkakan Nilai Tambah Industri kita. Misalnya masalah budidaya rumput laut. Dikawasan timur Indonesia luasan budidaya laut cukup besar, namun tidak ada Industri rumput laut di daerah ini sehingga yang dijual hanya bahan mentahnya saja. Hal ini menyebabkan negara yang menjadi tujuan ekspor rumput laut mentah yang memiliki Nilai Tambah secara Ekonomi berupa Harga Pasar yang tinggi dan kemampuan merekrut Tenaga Kerja dan Bahan Modal lain yang besar.
  • Masalah-masalah Isu – Isu Global dan Ratifikasi Perjanjian Internasional yang sudah diakui oleh Indonesia dengan Negara lain. Misalnya : Biodiversity (Keanekaragaman Hayati), Pemanasan global,         Ozon depletion, HAM, Woman in development (gender), ISO 9000, ISO 14000, HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point), dll. Juga terkait dengan Penangkapan di Laut Lepas (Ocean) untuk penangkapan Tuna misalnya Indian Ocean Tuna Commision, dll. Bila semua perjanjian tersebut tidak mampu kita ikuti maka yang terjadi adalah sanksi berupa pemboikotan produk perikanan Indonesia oleh dunia yang akan menurunkan Nilai Ekspor Perikanan terlebih Citra Indonesia dimata dunia.
  • Masalah Harta Laut yang terpendam di Laut Indonesia yang belum diperhatikan dan dikelola dengan baik.  Misalnya Harta Karun Cirebon Wreck yang merupakan peninggalan kebudayaan China. Untuk pertama kalinya, pemerintah menyelenggarakan lelang artefak yang bernilai jutaan dolar dengan sistem lot dan ternyata tidak ada pesertanya. Waktu sosialisasi dan penyelenggara yang tidak memadai  dituding sebagai salah satu penyebabnya.
  • Masalah Kebijakan dalam melayari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang menjadi Jalur Internasional Pelayaran di Indonesia, ternyata masih disalahgunakan oleh Negara-negara lain.
  • Masalah Kelautan sebenarnya harus diawali dari Kementerian yang mengelolanya yakni Kementerian Kelautan Perikanan (KKP). Kementerian ini jangan hanya terjebak pada persoalan ikan dan nelayan miskin saja (Perikanan). Kalau kita mau membangun negara maritim, seharusnya KKP menjadi leader pembangunan negara bervisi maritim. Dari enam Direktorat Jenderal yang ada di KKP hanya satu Dirjen baru yang mengurusi laut, itupun dengan anggaran yang sangat terbatas,  selebihnya  Ditjen – ditjen KKP  mengurusi Perikanan.
  • Masalah lain yang turut berpengaruh adalah Integratif Perception diantara penyelenggaraan yaitu 3 (tiga) Pilar Hidup Berdemokrasi : Pertama Eksekutif (yang mengeksekusi kebijakan menjadi tindakan yang nyata berupa Program-program yang mendarat ke masyarakat pesisir. Kedua Legislatif yang bersama Eksekutif membuat Undang-undang yang “seharusnya” Pro kepada Rakyat, karena mereka yang dipilih oleh Rakyat. Dan Ketiga  Yudikatif yang mengeksekusi masalah-masalah Hukum bagi mereka yang melanggar peraturan-peraturan Hukum yang berlaku di NKRI.


Dengan mengetahui berbagai permasalahan dan tantangan ke depan dalam pembanguan bidang kelautan dan perikanan maka seharusnya kementerian terkait secara langsung dilibatkan dalam berbagai kebijakan yang akan menopang pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam bidang Kelautan dan Perikanan.  MP3EI telah menetapkan 6 (enam) Koridor Ekonomi dengan Bidang - bidang Pembangunan yang khusus, terkait potensi sumberdaya-nya. Khusus yang terkait dengan bidang Kelautan dan Perikanan maka telah ditetapkan 3 (tiga) Koridor Ekonomi yaitu Koridor Ekonomi IV (Pulau Sulawesi), Koridor Ekonomi V (Bali, NTT dan NTB) dan Koridor VI (Kepulauan Maluku, dan Papua).

I.      Pengembangan Sektor Perikanan pada Koridor Ekonomi IV (Pulau Sulawesi)


    Koridor Ekonomi Sulawesi mempunyai tema Pembangunan Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, dan Pertambangan Nikel Nasional. Koridor ini diharapkan menjadi garis depan ekonomi nasional terhadap pasar Asia Timur, Australia, dan Amerika. Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki potensi tinggi di bidang ekonomi dan sosial dengan kegiatan – kegiatan unggulannya.
    Meskipun demikian, secara umum terdapat beberapa hal yang harus dibenahi di Koridor Ekonomi Sulawesi :
•  Rendahnya nilai PDRB  per kapita  di Sulawesi  dibandingkan  dengan pulau lain di    
   Indonesia ;
•  Kegiatan ekonomi utama pertanian, sebagai kontributor PDRB terbesar (30 persen),   
    tumbuh  dengan  lambat padahal kegiatan  ekonomi utama ini  menyerap sekitar  50  
    persen tenaga  kerja ;
•   Investasi  di Sulawesi yang  berasal  dari  dalam dan  luar negeri  relative  tertinggal
    dibandingkan   daerah lain ;
•   Infrastruktur perekonomian dan sosial seperti jalan, listrik, air, dan kesehatan
    kurang tersedia dan belum memadai.

Pembangunan Koridor Ekonomi Sulawesi berfokus pada kegiatan-kegiatan ekonomi utama pertanian, perikanan, pangan, kaka dan nikel. Selain itu, kegiatan ekonomi utama minyak dan gas bumi dapat dikembangkan yang potensial untuk menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di koridor ini.

Indonesia memiliki kedudukan penting di kegiatan ekonomi utama perikanan. Dengan kekayaan laut yang berlimpah, saat ini pertumbuhan produksi makanan laut mencapai 7 persen per tahun, sehingga menempatkan Indonesia sebagai produsen terbesar di Asia Tenggara. Dilihat dari produksi perikanan di Indonesia berdasarkan sebaran wilayahnya, Koridor Ekonomi Sulawesi merupakan wilayah yang memiliki produksi perikanan laut terbesar di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perikanan merupakan salah satu kegiatan ekonomi utama di Koridor Ekonomi Sulawesi. Saat ini perikanan berkontribusi sekitar 22 persen dari total PDRB sub sektor pertanian pangan (70 persen tangkapan dan 30 persen budidaya) dimana sekitar 20 persen dari aktivitas perikanan tersebut merupakan perikanan tangkap dan sisanya adalah perikanan budidaya. Potensi pengembangan perikanan terus berkembang secara signifikan karena sebagian besar hasil perikanan di Sulawesi adalah untuk pemenuhan kebutuhan ekspor seiring dengan permintaan global yang terus meningkat.
Meskipun sumber daya perikanan cukup melimpah, terdapat persoalan terkait dengan ekploitasi penangkapan ikan yang berlebihan di beberapa areal laut sehingga mengancam keberlanjutan kegiatan ini. Sebagai contoh, eksploitasi penangkapan ikan demersal dan udang di Sulawesi Selatan dan ikan pelagis besar di Sulawesi Utara. Untuk mengurangi eksploitasi penangkapan ikan yang berlebih dan meningkatkan produksi perikanan yanglebih berkelanjutan, maka dikembangkan juga perikanan budidaya (akuakultur). Dalam kaitannya dengan pengembangan perikanan budidaya, area tambak di koridor ini ideal untuk budidaya udang yang bernilai tinggi dimana nilai jualnya jauh lebih tinggi daripada nilai jual rumput laut yang mendominasi hasil produksi akuakultur. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Sulawesi Selatan telah mengutarakan keinginan untuk menjadi sentra perikanan budidaya di Indonesia. 
Pengembangan Koridor Ekonomi IV (Sulawesi) untuk sektor perikanan  dan kelautan lebih diarahkan pada bidang  Perikanan Budidaya khususnya pengembangan usaha rumput laut, ikan kerapu sehingga arah kebijakan lintas sektoral harus diarahkan untuk menunjang kebijakan tersebut. Namun demikian, secara khusus, dalam pengembangan kegiatan ekonomi utama perikanan ini ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, antara lain:
•  Persaingan di pasar global, dimana beberapa produk perikanan dari negara lain seperti Thailand dan Vietnam memiliki daya saing yang sangat tinggi yang dikarenakan proses produksi yang jauh lebih efisien dibandingkan dengan Indonesia.
•  Persaingan di pasar dalam negeri, yaitu daerah-daerah lainnya di Indonesia yang memproduksi produk perikanan sejenis.
•  Persyaratan kualitas/mutu produk perikanan seperti persyaratan label, kemasan, keamanan produk, traceability, green/eco label dan syarat kandungan BTP akan semakin ketat. Ini merupakan suatu tantangan ke depan agar industri perikanan dapat lebih meningkatkan mutu dan memperketat kontrol kualitas produk perikanan yang dihasilkan.
•     Persaingan konsumsi protein hewani lain, seperti ayam, daging (sapi), dan telur.
•   Pendapatan dan daya beli konsumen. Dengan semakin meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat akan mempengaruhi pola konsumsi makanan yang lebih sehat. Masyarakat cenderung untukNamun demikian, secara khusus, dalam pengembangan kegiatan ekonomi utama perikanan ini ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, antara lain:
•  Persaingan di pasar global, dimana beberapa produk perikanan dari negara lain seperti Thailand dan Vietnam memiliki daya saing yang sangat tinggi yang dikarenakan proses produksi yang jauh lebih efisien dibandingkan dengan Indonesia.
•  Persaingan di pasar dalam negeri, yaitu daerah-daerah lainnya di Indonesia yang memproduksi produk perikanan sejenis.
•  Persyaratan kualitas/mutu produk perikanan seperti persyaratan label, kemasan, keamanan produk, traceability, green/eco label dan syarat kandungan BTP akan semakin ketat. Ini merupakan suatu tantangan ke depan agar industri perikanan dapat lebih meningkatkan mutu dan memperketat kontrol kualitas produk perikanan yang dihasilkan.
•    Persaingan konsumsi protein hewani lain, seperti ayam, daging (sapi), dan telur.
•  Pendapatan dan daya beli konsumen. Dengan semakin meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat akan mempengaruhi pola konsumsi makanan yang lebih sehat. Masyarakat cenderung untuk membeli bahan pangan dan hasil perikanan yang telah diolah dan dikemas dalam bentuk yang lebih mewah.
      Ini merupakan suatu tantangan dan sekaligus peluang usaha industri pengolahan hasil perikanan, misalnya pengembang inovasi produk siap saji, produk beku, produk kaleng, produk kering, dan value added seafood (fillet kakap, tuna loin steak).

              Berdasarkan potensi dan tantangan pengembangan kegiatan perikanan tersebut di atas, diperlukan dukungan terkait regulasi dan kebijakan berikut:
•   Meningkatkan nilai tambah produk dengan pengadaan subsidi konversi lahan untuk pembuatan tambak/budidaya udang;
•     Meningkatkan aktivitas pengolahan rumput laut;
•  Mengembangkan minapolitan berbasiskan perikanan tangkap untuk percepatan pembangunan kawasan yang berbasis perikanan tangkap dan minapolitan berbasis perikanan budidaya;
•  Mengembangkan sistem pengaturan dan pengawasan yang lebih ketat mengenai aktivitas penangkapan ikan;
•  Melakukan konversi areal bakau menjadi tambak udang sesuai persyaratan yang berlaku.
     
              Pengembangan kegiatan ekonomi utama perikanan memerlukan dukungan peningkatan konektivitas (infrastruktur) berupa:
•     Pembangunan balai benih ikan/hatchery untuk menghasilkan bibit unggul;
•     Pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan;
•     Pengembangan Unit Pengolahan Ikan (UPI);
•     Peningkatan kapasitas pelabuhan di Makassar dan Manado;
•  Akses jalan yang lebih baik dari lokasi perikanan menuju pelabuhan dan pusat perdagangan regional;
•   Pembangunan fasilitas penyimpanan hasil laut , di tempat-tempat pelelangan maupun di pusat-pusat perdagangan;
•     Peningkatan kapasitas infrastruktur (listrik, air, telekomunikasi).
     
      Untuk mencapai pengembangan kegiatan ekonomi utama perikanan yang berkelanjutan, diperlukan upaya-upaya peningkatan Kinerja Sumberdaya Manusia dan Penerapan IPTEKS yang dapat dijelaskan sebagai berikut :   
•  Penyediaan pendidikan kepada nelayan untuk memastikan penggunaan metode penangkapan yang lebih baik guna menjaga kelangsungan produksi perikanan;
•  Peningkatan produktivitas penangkapan dan pengolahan melalui pelatihan dan penyuluhan, pengadaan modal, alih teknologi tepat guna;
•     Perbaikan edukasi nelayan dan akses terhadap finansial;
•     Penegakkan peraturan terkait kualitas/mutu produk perikanan secara lebih baik;
•     Pemberian bantuan dana (subsidi) terutama bagi petani pemula budi daya udang;
•   Peningkatan standar proses industri, terutama untuk produk ekspor sehingga dapat mencapai nilai yang optimal.

I.      Pengembangan Sektor Perikanan pada Koridor Ekonomi V (Bali dan Nusa Tenggara)

Pengembangan Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara mempunyai tema Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional. Tema ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di koridor ini yang mana 17 persen penduduknya berada di bawah garis kemiskinan serta memiliki ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi yaitu sebesar IDR 17,7 juta per kapita (antara kabupaten / kota terkaya dan termiskin di dalam koridor ini). Namun demikian, koridor ini memiliki kondisi sosial yang cukup baik, sebagaimana terlihat dari tingginya tingkat harapan hidup sebesar 63 tahun, tingkat melek huruf sebesar 80 persen serta tingkat PDRB per kapita sebesar IDR 14,9 juta yang lebih tinggi dibandingkan PDB per kapita nasional sebesar IDR 13,7 juta.
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh koridor ini, antara lain populasi penduduk yang tidak merata, tingkat investasi yang rendah serta ketersediaan infrastruktur dasar yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi yang akan difokuskan pada 3 (tiga) kegiatan ekonomi utama, yaitu: pariwisata, perikanan dan peternakan.
Gambar berikut menunjukkan kontribusi kegiatan pariwisata, perikanan dan peternakan yang tergambarkan dalam sektor perdagangan, hotel, restoran dan pertanian terhadap perekonomian di Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kegiatan ekonomi utama perikanan merupakan salah satu kegiatan yang penting untuk dikembangkan guna menuju ketahanan pangan nasional. Saat ini produk perikanan merupakan sumber protein hewani dengan tingkat konsumsi terbesar di Indonesia dengan besaran konsumsi produk perikanan mencapai sebesar 30,4 kg / kapita / tahun yaitu 72 persen konsumsi protein hewani/kapita/tahun, dibandingkan sumber protein hewani lainnya seperti ayam, daging dan telur. Sebagai negara kepulauan, kondisi geografis Indonesia sangat mendukung pengembangan kegiatan perikanan. Indonesia memiliki akses sumber daya perikanan yang berlimpah baik perikanan perairan laut maupun air tawar dimana 76 persen luas permukaan Indonesia merupakan perairan laut. Selain itu, terdapat 5.500 sungai dan danau yang mengairi daratan Indonesia.
Perikanan : Secara umum kegiatan perikanan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perkembangan kegiatan perikanan di Indonesia memiliki kenaikan rata-rata per tahun sebesar 10,29
persen. Pada periode 2009 – 2010, produksi perikanan budidaya meningkat 16,34 persen dengan produksi terbesar diperoleh dari budidaya di laut. Peningkatan ini lebih tinggi dari produksi  perikanan tangkap yang meningkat 4,71 persen. Kegiatan perikanan juga mencakup produk kelautan, misalnya seperti rumput laut dan garam. Produksi rumput laut nasional pada tahun 2010 mencapai 3 juta ton. Di dalam koridor ini juga terdapat 12 kabupaten yang menjadi lokasi untuk pengembangan komoditas unggulan rumput laut sebagaimana tercantum dalam program Minapolitan 2010 – 2014.

Produksi Garam : Lain halnya dengan produksi garam. Terlepas dari kondisi geografis Indonesia yang potensial untuk pengembangan produksi garam, saat ini Indonesia harus melakukan impor garam guna memenuhi kebutuhan domestik. Pada tahun 2009 – 2010, impor garam untuk konsumsi masyarakat Indonesia meningkat tajam sebesar 500 persen. Peningkatan besaran impor garam dapat dilihat pada gambar samping. Sehubungan dengan hal ini pemerintah tengah menerapkan usaha untuk meningkatkan produksi garam dengan membentuk kawasan minapolitan garam. Pemerintah memberikan perhatian khusus kepada NTT sebagai wilayah pengembangan komoditi ini, karena wilayah ini memiliki lahan potensial produksi garam yang luas. Gambar 8, menunjukkan bagaimana Tren Impor Garam yang terjadi di Indonesia dari Kementerian Perindustrian (2011) sehingga upaya produksi Garam perlu ditingkatkan khusus di NTT.
         Bagi Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara, kegiatan ekonomi utama perikanan saat ini menyumbang 13,2 persen PDRB dari sektor agrikultur pangan. Menurut data dari Pusat Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (IPB), saat ini kegiatan ekonomi utama perikanan hanya menggunakan kurang dari 25 persen potensi kelautan di Indonesia. Peningkatan produktivitas hasil kelautan dapat dikembangkan bukan hanya melalui penangkapan, tetapi juga melalui pengembangan budidaya. Potensi yang besar tersebut terutama terdapat di daerah NTB. Kegiatan ekonomi utama perikanan perlu dikembangkan karena kegiatan tersebut berpotensi menjadi mesin penggerak perekonomian Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara melalui eksternalitas yang besar yang dimiliki dalam penyediaan lapangan kerja. Berikut ini adalah gambar persentase kontribusi dan potensi sector perikanan di Bal dan Nusa Tenggara.

      Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kegiatan perikanan dibagi menjadi tiga aspek utama yaitu penangkapan / budidaya, pengolahan dan distribusi hasil pengolahan perikanan. Terdapat beberapa tantangan yang berkaitan dengan tiga aspek pengembangan kegiatan perikanan di atas, antara lain:
•  Tidak terpetakannya potensi perikanan kelautan secara akurat serta lemahnya kontrol implementasi rencana tata ruang yang menyebabkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya;
•  Terbatasnya suplai perikanan laut sehingga membutuhkan efisiensi produksi melalui pengembangan bibit unggul perikanan;
• Sebagian besar armada dan peralatan penangkapan ikan masih sangat sederhana;
•  Rendahnya minat investor untuk pengembangan perikanan, terutama dalam kegiatan pengolahan produk perikanan dan kelautan;
•    Rendahnya nilai tambah ekonomis produk olahan perikanan kelautan;
• Rendahnya kualitas SDM perikanan dan kelautan, baik dalam produksi penangkapan dan budidaya perikanan serta dalam pengolahannya;
• Terbatasnya permodalan untuk masyarakat setempat sehubungan dengan pengembangan kegiatan perikanan berbasis masyarakat;
•    Terbatasnya jalur distribusi dan pemasaran produk perikanan dan olahannya;
•  Belum terpenuhinya kebutuhan infrastruktur, sarana dan prasarana pendukung (antara lain jalan, air bersih dan listrik) terutama untuk melayani industri pengolahan produk perikanan kelautan. Hal ini menyebabkan tingginya biaya produksi perikanan dan produk olahannya;
•  Minimnya akses yang menghubungkan antara lokasi-lokasi penghasil produk perikanan kelautan dengan lokasi industri pengolahannya serta dengan pasar regional dan fasilitas ekspor.

     Untuk mengatasi tantangan tersebut, strategi umum dan langkah aksi yang akan dikembangkan di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara adalah:
1.  Meningkatan produksi hasil perikanan, yang meliputi penangkapan tuna, budidaya udang, dan budidaya rumput laut. Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara memiliki potensi perikanan yang sangat besar, oleh karena itu untuk meningkatkan produksi perikanan perlu dilakukan beberapa hal yang meliputi:
•   Pemetaan potensi sumber daya perikanan dan kelautan;
•   Pengawasan penerapan RTRW;
•   Pembentukan pusat benih;
•   Revitalisasi tambak yang sudah ada;
•   Pendirian pusat pelatihan nelayan dan pengadaan program sertifikasi;
•   Pengembangan bibit unggul dan teknologi penangkapan ikan.
2.    Meningkatan produksi produk olahan bernilai tambah tinggi hasil perikanan, yang meliputi  pembekuan udang, pengalengan ikan, pengolahan tepung ikan, dan pengolahan keraginan (tepung rumput laut). Nilai tambah produk olahan perikanan pada saat ini masih sangat kecil. Peningkatan nilai tambah ekonomis produk olahan perikanan dapat dilakukan dengan:
•  Pengembangan klaster industri perikanan yang melingkupi industri produksi  bahan baku;
•  Penjalinan kerjasama dengan negara yang mengkonsumsi hasil perikanan dan kelautan (Jepang dan Thailand) untuk pemasaran hasil budidaya;
•  Pemberian pendampingan pada UKM perikanan untuk meningkatkan pengetahuan pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi serta pemberian skema micro credit PNPM Mandiri melalui koperasi nelayan.
3. Meningkatkan produksi garam dengan mengoptimalkan lahan yang memiliki potensi untuk pengembangan kegiatan usaha garam. Pengembangan industri garam merupakan kegiatan prioritas saat ini karena Indonesia masih belum dapat memenuhi kebutuhan domestik dan masih mengandalkan impor garam. Sebagai upaya untuk meningkatkan produksi garam dalam negeri, sentra garam akan dikembangkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

     Regulasi dan Kebijakan : Dalam rangka melaksanakan strategi umum peningkatan produksi perikanan dan pengembangan usaha garam, diperlukan dukungan regulasi dan kebijakan sebagai berikut:
•    Penyiapan dan pengawasan pelaksanaan RTRW;
•  Penjalinan kerjasama dengan negara yang mengkonsumsi hasil perikanan dan kelautan (Jepang dan Thailand) untuk pemasaran hasil budidaya;
•  Penjalinan kerjasama antara industri garam dengan pembudidaya garam setempat dalam penyediaan bahan baku industri garam.
     
      Konektivitas (infrastruktur) : Selain hal di atas, pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam rangka peningkatan konektivitas untuk mendukung peningkatan produksi perikanan dan pengembangan usaha garam, dilakukan melalui:
•   Perbaikan level of service jalan lintas kabupaten, terutama untuk wilayah NTT dan peningkatan akses dari dari dermaga pendaratan ikan ke jalan lintas kabupaten terdekat;
•  Peninjauan kembali kapasitas pelabuhan setempat guna mendukung aktivitas industri;
•  Percepatan program penambahan kapasitas energi listrik dengan peningkatan kapasitas PLTU/PLTP;
•  Pengembangan Bandar Udara Mbai di Kabupaten Nagekeo, NTT yang digunakan untuk mengangkut hasil perikanan dan kelautan yang bernilai tinggi namun harus cepat dikonsumsi;
•  Percepatan pembangunan instalasi pengolahan air bersih terutama di wilayah NTT untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya dan industri pengolahan hasil perikanan dan kelautan.

     SDM dan IPTEK : Upaya peningkatan produksi perikanan dan pengembangan usaha garam, dilakukan melalui:
•    Pendirian pusat pelatihan nelayan dan pengadaan program sertifikasi;
•    Pengembangan bibit unggul dan teknologi penangkapan ikan ;
•  Pemberian pendampingan pada UKM perikanan untuk meningkatkan pengetahuan pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi serta pemberian skema micro credit  PNPM Mandiri melalui koperasi nelayan;
•  Penjalinan kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Universitas setempat untuk pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan dan kelautan yang bernilai jual lebih tinggi (kualitas lebih baik);
•  Penjalinan kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Universitas setempat untuk pengembangan teknologi budidaya garam (agar tidak tergantung pada cuaca);
•   Pendirian pusat pelatihan budidaya garam dengan skala layanan kabupaten untuk diseminasi teknik dan kemungkinan integrasi penggunaan lahan tambak garam dengan budidaya perikanan.

 I.      Pengembangan Sektor Perikanan pada Koridor VI (Kepulauan Maluku dan Papua)

      Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku terdiri dari Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Sesuai dengan tema pembangunannya, Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku merupakan pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan pertambangan nasional.
      Secara umum, Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku. Maluku memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, namun di sisi lain terdapat beberapa masalah yang harus menjadi perhatian dalam upaya mendorong perekonomian di koridor ini, antara lain:
•    Laju pertumbuhan PDRB di Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku dari tahun 2006 – 2009, tergolong relatif tinggi, yakni sebesar 7 persen, namun besaran PDRB tersebut relatif kecil dibanding dengan koridor lainnya;
     Disparitas yang besar terjadi di antara kabupaten di Papua. Sebagai contoh,  PDRB per kapita Kabupaten Mimika adalah sebesar IDR 240 juta, sementara kabupaten lainnya berada di bawah rata-rata PDB per kapita nasional (IDR 24,26  juta);
•   Investasi yang rendah di Papua disebabkan oleh tingginya risiko berusaha   
    dan tingkat kepastian usaha yang rendah;

 









Gambar 5. Pengembangan Koridor Ekonomi VI (Kepulauan Maluku dan Papua)

•  Produktivitas egara pertanian belum optimal yang salah satunya disebabkan  
    oleh  keterbatasan sarana pengairan;
•   Keterbatasan infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi;
• Jumlah penduduk yang sangat rendah dengan mobilitas tinggi memberikan tantangan khusus dalam pembuatan program pembangunan di Papua. Kepadatan populasi Papua adalah  12,6 jiwa/km, jauh lebih rendah dari rata-rata kepadatan populasi nasional (124 jiwa/km2).

        Indonesia memiliki kedudukan penting di egara perikanan. Dengan luasnya wilayah perairan di Indonesia, maka Indonesia berpeluang untuk menjadi salah satu egara eksportir komoditas perikanan terbesar dunia. Saat ini pertumbuhan produksi makanan laut mencapai 7 persen per tahun. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu produsen makanan laut terbesar di Asia Tenggara. Sebagai contoh, untuk produksi ikan tuna, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai egara penghasil tuna terbesar dunia. Hal ini sejalan dengan semakin bertambahnya produksi perikanan di Indonesia dari tahun ke tahun, yang masih didominasi perikanan tangkap. Total produksi perikanan di

2010 mencapai 10,83 juta ton, naik 10,29 persen dibandingkan 2009 sebesar 9,82 juta ton.








Gambar 6. Trend Produksi Perikanan tahun 2006 – 2010
        Periode 2009 – 2010, produksi perikanan budidaya meningkat 16,34 persen, lebih tinggi dari produksi perikanan tangkap yang meningkat 4,71 persen. Produksi terbesar diperoleh dari budidaya di laut, seperti tersaji dalam tabel dibawah ini.








Gambar 7. Perkembangan Produksi Perikanan ASEAN
        Walaupun peluang di sektor perikanan ini cukup besar, tetapi ada beberapa tantangan yang perlu disikapi untuk mencapai perkembangan sektor perikanan yang bisa meningkatkan kontribusi sektor perikanan pada PDRB Indonesia maupun daerah pada khususnya. Berdasarkan sebaran produksi perikanan di wilayah Indonesia, terlihat bahwa Koridor Ekonomi Papua–Kepulauan Maluku merupakan wilayah yang memiliki produksi perikanan laut ke-5 terbesar di Indonesia.
Untuk Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku, kegiatan perikanan difokuskan di perairan Kepulauan Maluku karena potensinya yang sangat besar. Untuk itu Maluku ditetapkan menjadi Kawasan Lumbung Ikan Nasional.  Sedangkan Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua tidak memiliki  potensi perikanan sebesar Maluku. Kegiatan perikanan di Maluku Utara hanya bersifat pengolahan, dan distribusi hasil perikanan. Pengembangan perikanan di Maluku Utara akan dirintis dengan mengembangkan Mega Minapolitan Morotai sedangkan di Papua Barat dan Papua hanya terdapat kegiatan perikanan yang masih kecil sehingga pengembangannya perlu didorong sesuai dengan potensi yang ada.





   


Gambar 8. Produksi Perikanan antar Propinsi tahun 2007
    Di Maluku, sektor pertanian berkontribusi paling besar dalam membentuk perekonomian Maluku untuk tahun2009, yaitu sebesar 33 persen. Diantara seluruh sub sektor pertanian, sektor perikanan merupakan sub-sektor yang mengalami peningkatan yang paling besar yaitu sebesar 1,86 persen pada tahun 2009.
    Tercatat Provinsi Maluku membukukan kenaikan sekitar 24 persen dari produksi perikanan tangkapnya antara tahun 2001 sampai 2006 (DKP, 2006). Masih di tahun yang sama, bila dibandingkan dengan data produksi perikanan tangkap dari provinsi yang lain, maka terlihat bahwa Maluku tercatat sebagai provinsi dengan persentase kenaikan produksi perikanan tangkap terbesar di Indonesia. Saat ini menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi perikanan Maluku ada di Laut Banda, Laut Seram dan Laut Arafura. Ketiga lokasi potensial itu disebut golden fishing ground. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga akan membuat simpul pengolahan industri perikanan di Maluku, yakni di Tual, Ambon dan Seram. Pembangunan budidaya perikanan Maluku mempunyai peluang yang sangat besar dilihat dari lingkungan strategis dan potensi sumberdaya yang tersedia, yakni berupa:
• Peningkatan jumlah penduduk dunia membutuhkan semakin banyak penyediaan ikan;
•   Pergeseran pola konsumsi masyarakat dunia ke produk perikanan;
•   Tuntutan penyediaan makanan bermutu tinggi dan memenuhi syarat kesehatan;
•  Keunggulan komparatif terhadap pasar dunia karena letaknya yang relatif dekat  dengan negara tujuan ekspor, seperti Jepang;
•  Memiliki potensi sumber daya lahan yang sangat besar, akan tetapi belum   dimanfaatkan dengan optimal;
•  Rendahnya kualitas mutu produk olahan ikan sehingga sulit bersaing di pasar ekspor.






Gambar 9.  Area  Budidaya Laut Propinsi Maluku
      Tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan arrin perikanan di koridor ini adalah:
•     Sulitnya mendapatkan modal usaha dari perbankan bagi usaha perikanan kecil.
•   Belum termanfaatkannya potensi Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (1,62 juta ton/tahun).
•  Belum terpadunya kegiatan usaha penangkapan ikan, tambak ikan, budidaya rumput laut dan industry pengolahan.
•    Masih kurangnya infrastuktur pelabuhan, power dan arrin, serta bangunan yang dapat mendukung kegiatan perikanan.
•     Teknologi penangkapan dan pengolahan hasil ikan belum memadai.
      Strategi yang dapat dilakukan adalah memberikan kredit mikro kepada para nelayan, mengembangkan arring produk olahan ikan, meningkatkan kualitas produk perikanan di pasar arri dan ekspor, mempertahankan keberlanjutan arrin perikanan melalui pemberdayaan nelayan, serta meningkatkan kapasitas infrastruktur.

       Regulasi dan Kebijakan : Untuk melaksanakan strategi pengembangan perikanan, terdapat beberapa hal terkait regulasi dan kebijakan yang harus dilakukan, antara lain:
•   Deregulasi dalam bidang penyediaan kredit UMKM dan pengenalan lembaga kredit mikro ;
•      Pengembangan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional ;
•   Mendorong terbitnya Perda mengenai Pusat Industri Perikanan di Ambon dan Tual, Pengembangan 6 Kawasan Minapolitan, dan 6 Klaster Pengembangan Rumput Laut;
•      Mendorong pelaksanaan program Mega Minapolitan di Morotai;
•      Meningkatkan aktivitas pengolahan rumput laut di Maluku Utara;
•      Mengembangkan produksi olahan untuk meningkatkan nilai tambah;
•   Meningkatkan akses permodalan dari perbankan dan lembaga keuangan lain untuk  pelaku arring pengolahan perikanan.
      
       Konektivitas (infrastruktur) : Pengembangan kegiatan ekonomi utama perikanan juga memerlukan dukungan infrastruktur yang meliputi:
•      Pengembangan sarana dan prasarana pemasaran hasil perikanan dalam negeri;
•  Pengembangan 12 Pelabuhan Perikanan di Maluku (PPN: Tantui/Ambon & Dumar/Tual, PPI: Eri/Ambon, Taar/Tual, Amahai, Kayeli/Buru, Ukurlarang/MTB, Klishatu/Wetar, Kalar-kalar/Aru, PPP: Dobo, Tamher Timur/SBT, Piru/SBB);  Pelabuhan Perikanan di Maluku Utara (Morotai) dan Sofifi;
•      Penyediaan infrastruktur depot BBM dan sumber tenaga listrik;
•      Pengembangan depo pemasaran rumput laut dan perikanan di Maluku Utara;
•    Fasilitasi bantuan peralatan penangkapan ikan (kapal dan arring penangkap) yang dilengkapi dengan Sistem Informasi Lokasi Penangkapan Ikan (satelit);
•  Infrastruktur/konektivitas lainnya yang mendukung seluruh kegiatan Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku.
      
       SDM dan IPTEK : Selain kebutuhan perbaikan regulasi dan dukungan infrastruktur, pengembangan kegiatan ekonomi utama kelapa sawit juga perlu dukungan terkait pengembangan IPTEK dan sumber daya manusia, yaitu:
•  Pembangunan unit pengolahan ikan, mesin dan peralatan pengolahan, laboratorium uji mutu dan penelitian dan pengembangan, cold storage, dan docking di Maluku dan Maluku Utara;
•   Pendirian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan di Ambon dan Morotai;
•   Menyediakan pusat informasi sumber daya ikan berbasis teknologi di masing-masing desa nelayan;
•  Meningkatkan mutu produk perikanan melalui pelatihan, standarisasi, dan pengawasan mutu;
  







Gambar 10. Perbandingan Investasi Sektor Perikanan dengan sektor lainnya
      
Investasi di sektor perikanan pada Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku masih sangat rendah dibandingkan dengan sektor utama lainnya (pertambangan, pertanian tanaman pangan), sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan investasi sektor tersebut. Disamping itu, ada pula investasi dari beberapa kegiatan di luar 22 kegiatan ekonomi utama yang dikembangkan di MP3EI seperti emas sebesar IDR 18,80 Triliun. Untuk Memahami betapa besarnya potensi Sektor Kelautan dan Perikanan pada Koridor Ekonomi VI (Propinsi Maluku dan Papua) untuk dikembangkan, dapat dilihat pada Gambar 18, 19, 20 berikut ini :

I.      Kesimpulan dan Saran

Dari penjelasan yang telah dikemukan di atas maka ada beberapa hal yang perlu dikemukakan sebagai konklusi dan implikasi kebijakan yang penting sebagai berikut :
1.    Sektor Kelautan dan Perikanan merupakan sektor masuk dalam  8 (delapan) Prioritas kegiatan utama Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
2.    Perlu mengintegrasikan kebijakan-kebijakan sektor Kelautan dan Perikanan yang telah dilaksanakan sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam penjabarannya, misalnya pelaksanaan Program Kementerian Kelautan Perikanan tentang Minapolitan yang ternyata mesti diselaraskan dengan Program MP3EI.
3.    Banyak sekali peraturan perundang-undangan ditingkat Pusat dan Daerah yang belum mendukung pelaksanaan MP3EI, misalnya Peraturan tentang Pertanahan, Perpajakan, Ekspor dan Impor, dan lain-lain.
4.    Perlu pelibatan masyarakat secara langsung dalam pengimplementasian kebijakan sehingga masyarakat tidak merasa terpinggirkan dalam pelaksanan Program MP3EI, bila dilihat  bahwa hampir 80 % Sektor Perikanan didominasi oleh Nelayan-nelayan subsiten / tradisional, kecil dan menengah.
5.    Pelibatan Perusahan Asing dalam pelaksanaan program MP3EI mesti dengan ketat difilterisasi sehingga tidak diinterpretasikan bahwa Negara membiarkan secara leluasa mereka mengeksploitasikan Sumberdaya alam sekehendak sendiri bahkan dianggap bahwa Negara menjual sumberdaya kepada orang Asing.
6.    Fungsi Monitoring dan Pengawasan terhadap program-program MP3EI harus secara rutin dilakukan sehingga upaya “Mensejahterakan dan Memakmurkan Masyarakat Secara Berkeadilan” sesuai Tujuan Program MP3EI dapat terwujudkan.



Daftar Pustaka

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011. Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia  (MP3EI) Dukung Rencana Pembangunan Nasional. Pada http://www,bapenas.go.id/mp3ei. Jakarta (diunduh, 12 Desember 2011)

Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011. Buku Panduan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Penerbit Deputi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor  32  Tahun  2011 tentang Masterplan  Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta.
Prayitno S, Budi. 2009. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Makalah Persentase (tidak dipublikasikan) – Semarang. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah. Semarang.
Rifa Nadia Nurfuadah, 2011. Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia : Membawa Sektor Infrastruktur  Indonesia Naik Peringkat. Pada http://www.okezone.com/beritaaktual/mp3ei. Jakarta. (diunduh 12 Desember 2011).