Minggu, 14 November 2010

Kearifan Lokal (Local Wisdom) "Sasi" di Negeri Haruku


             
               I.    Pengertian Sasi Dan Cakupan Masalahnya 
A.   Tradisi Pengelolaan “ Sasi ” di Pulau Haruku
 .        Pulau Haruku adalah salah satu pulau kecil  yang berada pada gugusan Pulau-pulau Lease (Haruku, Ambon, Pombo, Nusalaut, Molana dan Saparua), dan terletak di sebelah Timur Kota / Pulau Ambon (gambar 1).   Sebagaimana desa-desa lain di Maluku, maka demikian juga halnya di negeri-negeri (desa) di pulau Haruku, hukum adat sasi sudah ada sejak dahulu kala. Belum ditemukan data dan informasi autentik tentang sejak kapan sasi diberlakukan di desa ini. Tetapi, dari legenda atau cerita rakyat setempat, diperkirakan  pada tahun 1600-an, sasi sudah mulai dibudayakan di pulau  Haruku. Pada zaman itu kepercayaan masyarakat masih dipengaruhi oleh kehidupan dengan alam sekitarnya (Animisme dan Dinamisme), hal ini menyebabkan secara turun temurun hubungan dengan alam selalu diwarnai dengan upacara atau ritual seperti Sasi.
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian   demi menjaga  mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya adalah norma hukum adat yang berlaku di pulau Haruku, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga / penduduk setempat.
B.   Dasar Hukum dan Kelembagaan Pengelolaan “Sasi”
Sasi  memiliki  peraturan - peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat yang disebut  “Saniri”. Di pulau Haruku Dewan Adat disebut nama dengan  Saniri'a Lo'osi Aman Haru-ukui, atau "Saniri Lengkap Negeri Haruku". Keputusan  kerapatan Dewan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang. Kewang adalah “Lembaga Adat dibawah Dewan Adat/Saniri yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan



Lembaga Kewang di pulau Haruku Haruku dibentuk sejak Sasi ada dan diberlakukan di desa.  Struktur kepengurusan Lembaga Kewang adalah sebagai berikut:
1.    Seorang Kepala Kewang Darat
2.    Seorang Kepala Kewang Laut
3.    Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
4.    Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
5.    Seorang Sekretaris
6.    Seorang Bendahara
7.    Beberapa orang Anggota Kewang (Darat dan Laut).

Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan atau garis keturunan dari datuk - datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban :
a. Mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar ;
b. Melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya ;
c.  Menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi;
d.  Memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta;
e. Menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.

II.  Model Pengelolaan
      Model Pengelolaan Sumberdaya Pantai seperti telah dikemukakan sebelumnya adalah Berbasis pada Masyarakat (Community Based Resourced Management) dimana penyelenggaraan kegiatan pengelolaan dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah dan stakeholder lainnya hanya mendukung. Untuk mengetahui bagaimana Model Pengelolaan di Pulau Haruku dapat dijelaskan sebagai berikut :

A. Jenis  dan Peraturan Sasi di Pulau Haruku
1.    Jenis – jenis Pengelolaan Sasi
Di negeri - negeri  pulau Haruku, dikenal empat jenis pengelolaan  sasi, yaitu:
a.    Sasi Laut   ;  yang  menjadi  kewenangan Kewang Laut
b.    Sasi Kali    ;  yang  menjadi  kewenangan  adalah  Kewang Laut dan Kewang Darat.
c.    Sasi Hutan ; yang menjadi kewenangan Kewang Darat  (khusus Hutan Mangrove menjadi tanggung jawab Kewang Darat / Laut
d.    Sasi dalam Negeri (Desa) ; menjadi kewenangan Kewang Darat

B.   Peraturan Sasi di Negeri Haruku
Berikut ini adalah rincian peraturan pelaksanaan dari keempat jenis sasi yang berlaku di Haruku yang diputuskan dalam kerapatan Dewan Adat Lengkap Negeri Haruku (Saniri'a Lo'osi Aman Haru-ukui) pada tanggal 10 Juni 1985, yang ditandatangani oleh Raja Haruku (Berthy Ririmasse), Kepala Kewang Darat (Eliza Kissya) dan Kepala Kewang Laut (Eli Ririmasse) yang diperbaharui lagi pada tahun 2005
Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa ketentuan ketentuan peraturan sasi ini sebenarnya sudah ada sejak dahulu, sehingga ketentuan-ketentuan yang dibuat tertulis saat ini, pada hakekatnya, hanyalah menegaskan kembali peraturan-peraturan adat yang telah diwariskan oleh para leluhur desa ini. Namun demikian, seperti yang terlihat jelas pada peraturan Sasi Kali, ada beberapa tambahan ketentuan baru (misalnya larangan berperahu motor dengan menghidupkan mesin dalam kali) yang diputuskan dalam rangka mengantisipasi perkembangan keadaan di zaman modern saat ini. Demikian juga halnya dengan ketentuan besarnya jumlah denda pelanggaran dalam bentuk uang tunai, juga disesuaikan dengan perkembangan ekonomi saat ini. Contoh tambahan peraturan Jaring (Karoro) pada Sasi Laut lainnya adalah larangan menggunakan jenis jaring-halus buatan pabrik ( karoro) yang dulunya belum dikenal dan baru muncul dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan pengalaman, jenis alat-tangkap ini ternyata sangat merusak karena mampu menangkap semua jenis ikan dalam berbagai ukuran tanpa pandang-bulu (mirip jaring "pukat harimau" atau trawl). Demikian pula halnya dengan larangan memanjat pohon bagi kaum perempuan, dalam peraturan Sasi dalam desa/Negeri yang diperbaharui, larangan ini dirubah dengan memperbolehkan perempuan memanjat pohon asal menggunakan pakaian yang pantas, antara lain, karena pertimbangan bahwa kini tersedia bahan sandang (misalnya, celana panjang) yang juga dapat dikenakan oleh perempuan.
Semua itu menandakan bahwa sasi bukanlah suatu kumpulan peraturan adat yang kaku, tetapi tetap dinamis mengikuti perkembangan zaman, sepanjang inti semangat, roh atau jiwanya (yakni asas kelestarian dan keseimbangan kehidupan manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya) tetap tidak berubah dan terpelihara.



C. Aturan Sasi Laut 
1.  Batas-batas sasi laut adalah mulai dari sudut Balai Desa bagian utara, 200 meter ke laut arah barat dan ke selatan sampai ke Tanjung Wairusi (dapat dilihat pada Gambar 3).
2.  Batas sasi untuk ikan lompa di laut: mulai dari labuhan Vetor, 200 meter ke laut arah barat dan ke selatan sampai ke Tanjung Hi-i.
3. Terlarang menangkap ikan yang berada dalam daerah sasi dengan menggunakan jenis alat tangkap apapun, terkecuali dengan jala, tetapi harus dengan cara berjalan kaki dan tidak boleh berperahu. Persyaratan bagi orang yang mempergunakan jala adalah hanya pada batas kedalaman air setinggi pinggang orang dewasa.
4. Daerah labuhan bebas adalah mulai dari sudut Balai Desa bagian utara sampai ke Tanjung Waimaru. Pada daerah labuhan bebas ini, orang boleh menangkap ikan dengan jaring, tetapi tidak boleh bersengketa. Jika ternyata ada yang bersengketa, maka labuhan bebas akan disasi juga.
5. Bila ada ikan lompa yang masuk ke daerah labuhan bebas, maka dilarang ditangkap dengan jaring.
6. Pada daerah sasi maupun pada daerah labuhan bebas, dilarang menangkap ikan dengan mempergunakan jaring karoro.
D.   Aturan Sasi Kali/Sungai
      Batas-batas Sasi di kali dimulai dari : (dapat dilihat pada Gambar 3)
1.    (a) muara Wai Learisa Kayeli ke Wai Harutotui.
      (b) muara Wai Learisa Kayeli sampai Air Kecil.
2.    Apabila ikan lompa sudah masuk ke kali, dilarang diganggu ataupun ditangkap, walaupun terdapat jenis ikan lain yang masuk bersama dengan ikan lompa tadi ke dalam kali.
3.    Pada waktu pembukaan sasi ikan lompa, dilarang membersihkan ikan di dalam kali atau membuang kepala ikan lompa yang diputuskan ke dalam kali.
4.    Terlarang mencuci bahan dapur berupa piring piring kotor, dan sebagainya, di dalam kali.
5.    Terlarang orang laki-laki mandi bercampur dengan orang perempuan, tetapi harus pada tempatnya masing-masing yang diatur sebagai berikut:
(a) untuk orang perempuan:
* di Air Besar ;  di Air Pohon Lemon ;  di Air Kecil ; di Air Pohon Lenggua
* pada Sebelah Air dan sampai di Gali Air dan ditentukan dengan tanda-tanda  sasi yang telah ditetapkan oleh Kewang.
(b) untuk orang laki-laki:
* di Air Piting ; di Air Cabang Dua ; pada Sebelah Air dan sampai di Gali Air  dan ditentukan dengan tanda-tanda sasi yang telah ditetapkan oleh Kewang.
6.    Terlarang orang masuk dengan perahu bermotor maupun jenis speed-boat dengan menghidupkan mesin di dalam kali.
7.    Pada tempat mengambil air minum, terlarang orang mencuci pakaian atau bahan cucian apapun melewati tempat tersebut.
8. Terlarang orang menebang pohon kayu pada tepi kali di sekitar lokasi sasi, terkecuali pohon sagu.
 D. Sanksi Bagi Yang Melanggar Sasi
Bagi mereka yang melanggar peraturan sasi (Laut dan Darat, akan dikenakan sanksi sebagai berikut:
·        Perahu motor masuk kali dengan menghidupkan mesin       
Rp 20.000
·        Mengganggu ikan lompa di kali
Rp   5.000
·        Mencuci piring, membuang air besar dan sampah RT di kali / sungai, dll.
Rp   7.500
·        Ke hutan atau ke laut pada hari Minggu
Rp   5.000
·        Mengambil karang laut
Rp 25.000
·         Menebang pohon kayu Bakau/Mangrove  atau jenis tumbuhan lain di Kolam Jawa dan sepanjang kali
Rp 20.000
Demikianlah peraturan sasi secara umum  terkait dengan Sasi Laut dan Sasi Kali yang  berlaku di Haruku.

E.   Kasus “ Sasi Ikan Lompa (Trisina baelama)”         
Di antara semua jenis dan bentuk sasi di Haruku, yang paling menarik dan paling unik atau khas desa ini adalah sasi ikan lompa (Trisina baelama; sejenis ikan sardin kecil). Jenis sasi ini dikatakan khas di Pulau Haruku, karena memang tidak terdapat di tempat lain di seluruh Maluku. Lebih unik lagi karena Sasi Lompa ini sekaligus merupakan perpaduan antara Sasi Laut dengan Sasi Kali. Hal ini disebabkan karena keunikan ikan lompa itu sendiri yang mirip perangai ikan salmon yang dikenal luas di Eropa dan Amerika, dapat hidup baik di air laut maupun di air kali.
Setiap hari, dari pukul 04.00 dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap tinggal di dalam kali Learisa Kayeli sejauh kurang lebih 1500 meter dari muara. Pada malam hari barulah ikan-ikan ini ke luar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali lagi ke dalam kali pada subuh hari. Yang menakjubkan adalah bahwa kali Learisa Kayeli yang menjadi tempat hidup dan istirahat mereka sepanjang siang hari, menurut penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, ternyata sangat miskin unsur-unsur plankton sebagai makanan utama ikan-ikan. Walhasil, tetap menjadi pertanyaan sampai sekarang: dimana sebenarnya ikan lompa ini bertelur untuk melahirkan generasi baru mereka. 
1.    Pelaksanaan Sasi Ikan Lompa
Bibit atau benih (nener ikan lompa biasanya mulai terlihat secara berkelompok dipesisir pantai Haruku antara bulan April sampai Mei. Pada saat inilah, sasi lompa dinyatakan mulai berlaku (Tutup Sasi/Larangan menangkap Ikan Lompa). Biasanya, pada usia kira-kira satu bulan sampai dua bulan setelah terlihat pertama kali, gerombolan anak-anak ikan itu mulai mencari muara untuk masuk ke dalam kali.
Hal-hal yang dilakukan Kewang sebagai pelaksana sasi ialah memancangkan tanda sasi dalam bentuk tonggak kayu yang ujungnya dililit dengan daun kelapa muda (Janur). Tanda ini berarti bahwa semua peraturan sasi ikan lompa
sudah mulai diberlakukan sejak saat itu, antara lain:
a.    Ikan-ikan lompa, pada saat berada dalam kawasan lokasi sasi, tidak boleh ditangkap atau diganggu dengan alat dan cara apapun juga.
b.    Motor laut tidak boleh masuk ke dalam kali Learisa Kayeli dengan mempergunakan atau menghidupkan mesinnya.
c.    Barang-barang dapur tidak boleh lagi dicuci di kali.
d.    Sampah tidak boleh dibuang ke dalam kali, tetapi pada jarak sekitar 4 meter dari tepian kali pada tempat-tempatyang telah ditentukan oleh Kewang.
e.    Bila membutuhkan umpan untuk memancing, ikan lompa hanya boleh ditangkap dengan kail, tetapi tetap tidak boleh dilakukan di dalam kali.
Bagi anggota masyarakat yang melanggar peraturan ini akan dikenakan sanksi atau hukuman sesuai ketetapan dalam peraturan sasi, yakni berupa denda. Adapun untuk anak-anak yang melakukan pelanggaran, akan dikenakan hukuman dipukul dengan rotan sebanyak 5 kali yang menandakan bahwa anak itu harus memikul beban amanat dari lima soa (marga besar) yang ada di Haruku.

2.    Upacara Sasi Ikan Lompa
Pada saat mulai memberlakukan masa sasi (tutup sasi), dilaksanakan upacara yang disebut panas sasi. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam setahun, dimulai sejak benih ikan lompa sudah mulai terlihat. Upacara panas sasi biasanya dilaksanakan pada malam hari, sekitar jam 20.00. Acara dimulai pada saat semua anggota Kewang telah berkumpul di rumah Kepala Kewang dengan membawa daun kelapa kering (lobe) untuk membuat api unggun. Setelah melakukan doa bersama, api induk dibakar dan rombongan Kewang menuju lokasi pusat sasi (Batu Kewang) membawa api induk tadi. Di pusat lokasi sasi, Kepala Kewang membakar api unggun, diiringi pemukulan tetabuhan (tifa) bertalu-talu secara khas yang menandakan adanya lima soa (marga) di desa Haruku. Pada saat irama tifa menghilang, disambut dengan teriakan Sirewei (ucapan tekad, janji, sumpah) semua anggota Kewang secara gemuruh dan serempak. Kepala Kewang kemudian menyampaikan Kapata (wejangan) untuk menghormati desa dan para datuk serta menyatakan bahwa mulai saat itu, di laut maupun di darat, sasi mulai diberlakukan (ditutup) seperti biasanya. Sekretaris Kewang bertugas membacakan semua peraturan sasi lompa dan sanksinya agar tetap hidup dalam ingatan semua warga desa. Upacara ini dilakukan pada setiap simpang jalan dimana tabaos (titah, maklumat) biasanya diumumkan kepada seluruh warga dan baru selesai pada pukul 22.00 malam di depan baileo (Balai Desa) dimana sisa lobe yang tidak terbakar harus di buang ke dalam laut.
III.                              F. Keterkaitan Instansi / Stakeholder Lain.

Ada beberapa instansi yang turut berperan dalam pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat ini. Masing-masing dengan fungsi mereka tersendiri :
1.    Pemerintah Provinsi Maluku dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan.
Provinsi Maluku telah  menetapkan rencana strategis tahun 2005 - 20010.  Salah satu program yang direncanakan adalah revitalisasi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional dengan sasaran kegiatan adalah: mengidentifikasi potensi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan ; pemberian coastal award bagi masyarakat ; penguatan kelembagaan lokal dan penguatan ekonomi masyarakat (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2005). Perencanaan program ini sangat berarti karena pedesaan Maluku memiliki kelembagaan lokal serta kearifan tradisional dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan.
2.    Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah.
Dalam penjabaran Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku Nomor 1 tahun 2006 tentang Pemerintahan Adat pada desa-desa Adat di Maluku telah ditata dengan memberdayakan kelembagaan lokal dan kearifan tradisional yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
3.    Universitas Pattimura (FPIK dan Fak. Pertanian/Jurusan Kehutanan)
Sejak tahun 1982, telah dilakukan berbagai penelitian dan pengabdian masyarakat di pulau Haruku tentang peranan Sasi dari aspek pemberdayaan masyarakat pesisir maupun dari aspek konservasi sumberdaya alam pesisir. Di pulau Haruku tidak saja dilaksanakan Sasi Ikan Lompa (Sasi Laut) saja tapi juga ada Sasi Hutan, Sasi Kali dan Sasi dalam Negeri / Desa.  Melalui kerjasama dengan National Forest Programe dan FAO (NFP-FAO) maka telah dilaksanakan berbagai kegiatan “ Penguatan Kapasitas dan  Pendidikan  Lingkungan Bagi Mayarakat Haruku dengan tujuan kegiatan :
1. Melakukan rehabilitasi habitat burung Maleo dan sumber air
2. Pengadaan perpustakaan lingkungan
3. Membuat training dan kampanye lingkungan
4. Jaringan Baileo Maluku (JBM) suatu Lembaga Swadaya Masyarakat yang mendukung pemberdayaan masyarakat Adat Maluku terutama dalam penguatan  Kapasitas Kelembagaan Adat. Hal ini dilakukan dalam kaitan dengan Penguatan Kapasitas Lembaga Adat Kewang dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
5.  National Forest Programee dan FAO (NFP-FAO) di Roma Italia yang mendukung dengan Dana dan Tenaga Pendamping Masyarakat.
IV.      Hasil yang Diharapkan

  Diharapkan dengan adanya Model Pengelolaan sumberdaya Pesisir dan Laut yang berbasis Masyarakat
  • Memperoleh informasi tentang potensi Kelembagaan Lokal berupa aturan-aturan tertulis maupun tidak tertulis tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Maluku pada umunya dan di Pulau Haruku khusunya. 
  • Memperoleh informasi tentang bentuk-bentuk Kearifan Tradisional dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan Laut
  • Diharapkan adanya penelitian yang terintegrasi  dalam meneliti  Pengelolaan Sasi di Maluku yang selama ini dilaksanakan secara Parsial. Perlu Kajian baik secara biologis, sosial ekonomi serta kelembagaan
  • Peningkatan  kapasitas masyarakat dan perangkat pemerintahan  desa dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di  Maluku khususnya di pulau Haruku
  • Diharapkan adanya pembentukan dan pemberdayaan lembaga pengelolaan perikanan di tingkat Negeri/desa di Maluku sesuai regulasi setiap daerah Kabupaten/Kota  tentang Pemerintahan Adat.
  • Pemberdayaan  ekonomi masyarakat pesisir dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan  peningkatan mutu hasil  perikanan yang memiliki nilai jual. 

&&&  SEKIAN  DAN  TERIMA KASIH  &&&

1 komentar:

  1. Perlu adanya Aturan Hukum yang Baku sehingga Pranata2 Sosial pada Negeri Adat di Maluku senantiasa dapat berjalan dengan Baik...GBU.

    BalasHapus