Jumat, 23 September 2011

Perlukah Penyusunan Kebijakan Kelautan Indonesia ??

       
 Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diakui oleh United Nation Convention on the Law of The Sea (UNCLOS)  1982 sebagai Negara Kepulauan (Archipelago State). Pengakuan dunia internasional sejak lama ini ternyata belum diejawantahkan dalam upaya menjaga NKRI dengan tindakan-tindakan nyata. Pola pikir pemimpin-pemimpin bangsa yang berorientasi daratan membuat Lautan menjadi terabaikan sampai sekarang. Jargon-jargon “Nenek Moyangku Orang Pelaut” atau “Jalesveva Jayamahe” (Dilaut Kita Jaya) sekarang ini hanya mitos saja terkalahkan dengan Negara lain sekecil Singapura misalnya.  Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah laut-nya lebih besar dari wilayah daratannya dan itu adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Kalau Indonesia terpecah menjadi banyak negara-negara kecil maka status negara kepulauan terbesar di dunia itu pun bisa saja menjadi gugur. Jika itu terjadi, wilayah laut di dalam kepulauan Nusantara pun akan terkapling-kapling menjadi wilayah laut negara-negara baru. Contoh konkret adalah terpisah nya Provinsi Timor Timur menjadi Negara sendiri (Timor Leste) yang tentu menyebabkan perubahan luas dan panjang garis pantai NKRI. Contoh lain yang sama adalah Kasus Sipadan dan Ligitan di Provinsi Kalimantan Timur yang telah menjadi milik Negara Malaysia.  
Sehingga timbul pertanyaan besar, “ Apakah sebagai Negara Kepulauan terbesar maka  Indonesia otomatis menjadi negara maritime terbesar ?? Apakah kalau kita bicara ikan kita di laut banyak sekali dicuri oleh nelayan asing ilegal dan pulau – pulau kita diambil serta Provinsi terbungsu kita berdiri sendiri, kita bisa menganggap  sebagai negara maritim yang mampu menguasai wilayah laut kita sendiri ?
Dengan jumlah pulau 17.480 pulau dan 95.181 km panjang garis pantai terpanjang ke-4 di dunia setelah Canada, USA dan Rusia serta luas laut sebesar 5,8 juta km2 dan daratan yang hanya sebesar 2,1 juta km2.  Hal ini tentunya menyebabkan wilayah NKRI memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Potensi pada wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: 1) Sumberdaya dapat pulih (renewable resources), 2) Sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan 3) Jasa-jasa lingkungan (environmental services).
Uraian di atas jelas memberikan gambaran bahwa sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, serta memiliki peluang bagi pengembangan pembangunan ekonomi nasional. Sumberdaya alam laut yang beranekaragam merupakan kekayaan yang harus di jaga dan dimanfaatkan secara rasional dengan prinsip pelestarian untuk pemanfaatannya. Kebijakan pengelolaan negara terhadap bidang kelautan sebelumnya hanya berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya laut sebesar-besarnya bagi tujuan pencapaian keuntungan (Rent Seeker) baik secara individu maupun kelompok, tanpa memperhatikan daya dukung maupun aspek kelestarian sumberdaya tersebut. Padahal sebetulnya pada beberapa daerah di negara ini telah memiliki sistem pengelolaan tradisional terhadap beberapa sumberdaya penting. Akan tetapi sistem inipun sering terkontaminasi dengan tujuan individual untuk mencapai keuntungan daerah (pendapatan desa) semata yang diistilahkan, sehingga beberapa persyaratan penting menyangkut ukuran standar untuk dipanen sering kali tidak dihiraukan/terabaikan. Oleh karena itu kebijakan pengelolaan negara terhadap sumberdaya kelautan, hendaknya selalu berhubungan dengan budaya masyarakat setempat (aspirasi, persepsi, partisipasi, perilaku, pengalaman masyarakat setempat dan lain-lain), sehingga tujuan pengelolaan sumberdaya yang lestari dan berkelanjutan dapat tercapai. Selain itu ada Beberapa faktor yang menyebabkan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan selama ini bersifat tidak optimal dan berkelanjutan.  
Salah satu Penyebab Utama adalah Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan pembangunan sumberdaya pesisir dan kelautan  yang selama ini dijalankan secara sektoral dan terpilah-pilah sehingga banyak sekali terjadi Ego Sektoral  yang tidak menguntungkan. Padahal karakteristik dan dinamika alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis memiliki keterkaitan satu dan sama lainnya termasuk ekosistem lahan atas, serta beraneka ragam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam satu hamparan ekosistem pesisir. Pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan dengan melalui pendekatan terpadu dan holistik. Apabila perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan tidak dilakukan secara terpadu, dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak dan punah, sehingga tidak dapan dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju adil dan makmur.
Berdasarkan tinjuan sejarah dari berbagai kerajaan di Nusantara pada masa lalu, Indonesia sebenarnya adalah negara yang berwatak maritim. Namun demikian, watak kemaritiman tersebut saat ini sudah tidak lagi eksis, beberapa kalangan berkesimpulan agar dapat menjadi bangsa yang kuat dan disegani dimata internasional maka bangsa Indonesia harus kembali berwawasan maritim. Masalahnya dalam proses berbangsa dan bernegara  TIDAK terlihat adanya Arah Kebijakan dan Implementasi Kebijakan yang menopang Wawasan Kemaritiman, karena itu perlu adanya Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) yang menjadi Pedoman bagi Sektor – sektor terkait dengan Kelautan dalam pelaksanaan program pembangunannya.  
Beberapa Masalah aktual yang merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dikemukakan sehingga harapan adanya “Ocean Policy” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terwujud :
1.      Masalah Pandangan Birokrasi Pemerintahan terutama dalam pengalokasian Anggaran. Pada setiap Kementerian dan pada Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia. Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipersoalkan 8 (delapan) Provinsi Kepulauan yang tidak mengakomodasikan Luas Lautan sehingga alokasi dana tersebut dianggap diskriminasi oleh mereka
2.      Konflik pulau Sipadan dan Ligitan yang telah menjadi milik Malaysia, telah dikemukakan sebelumnya karena perhatian pemerintah yang lemah terhadap pulau – pulau terdepan.
3.      Masalah  konflik Blok Ambalat di Provinsi Kalimantan Timur  dengan  Malaysia, karena pelanggaran territorial laut Indonesia Malaysia. Hal ini juga karena Malaysia masih belum meratifikasi UNCLOS.
4.      Toponim pulau – pulau di Indonesia yang masih bermasalah terutama untuk dapat diakui oleh UNGEGN (United Nation Groups of Experts on Geographical Names) setiap 5 tahun sekali dengan memiliki Gazetir yang dibuat oleh BRKP. Pada tahun 2012 akan dilaksanakan Konferensi X United Nation Conference on the Standarization of Geographical Names (UNCSGN) di New York, perlu disiapkan untuk dilaporkan. Akhir Agustus 2007, NKRI telah mendepositkan 4.981 nama pulau ke PBB pada "The 9th UNCSGN" di New York, AS.  Masih banyak pulau yang belum memiliki nama, ada beberapa pulau yang namanya sama diantara provinsi di Indonesia maupun dengan Negara Tetangga terutama Malaysia.
5.      Masalah  pulau Nipah akibat reklamasi di Negara Singapura dan ekspor pasir ke Singapura serta masalah - masalah pembangunan  20  pulau - pulau terdepan lainnya dengan 9 (Sembilan) Negara tetangga yang menjadi titik perhitungan 12 mil laut Indonesia dan 200 mil ZEE Indonesia.
6.      Masalah Pencemaran Laut di beberapa daerah di Indonesia seperti di Teluk Jakarta, Perairan Cirebon dan Indramayu, Perairan disekitar kota Surabaya, Selat Bali, Perairan Bali Timur, Nusa Tengara Timur dan lain-lain.
7.      Masalah Penyewaan Pulau-pulau kecil kepada perusahan swasta yang dikemukakan dengan Istilah “Adopsi Pulau” oleh  Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (KP3K) Bpk Sudirman Saad.  Program adopsi pulau ini diperun­tu­kan bagi perusahaan atau investor swasta dengan konsep nonprofit.   Saat ini sudah ada perusahaan yang tertarik ikut dalam program adopsi pulau tersebut, yakni Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen KP3K  juga mengadakan hubungan bilateral dengan Kementerian BUMN untuk program adopsi pulau ini,”
8.      Masalah terbatasnya Sarana dan Prasarana yang menunjang pembangunan Sektor Kelautan, seperti Pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) dan Pelabuhan Perikanan Nusantara yang masih sedikit ; Kapal – kapal perang maupun kapal – kapal perikanan yang masih sedikit dengan begitu luasnya Nusantara, dll. Bila dibandingkan dengan Negara lain maka terlihat kita masih sangat tertinggal.
9.      Pengelolaan Kepelabuhanan di Indonesia yang masih lemah dan belum dilaksanakan secara professional. Contoh konkret yang terjadi di Pelabuhan Merak, Provinsi Banten kemacetan selama beberapa bulan yang menyebabkan kerugian 1,7 triliun.  Diluar masalah lemahnya pengelolaan pelabuhan di Indonesia, pasca implementasi Undang-Undang 17/2008 tentang Pelayaran, kini terbuka persaingan dalam memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan. Rencana pembangunan pelabuhan “Hub Port” pun mencuat. Yang menjadi pertanyaan besar, mampukah Pelindo, sebagai operator pelabuhan Indonesia, bersaing dengan pelabuhan di luar negeri yang lebih baik. Wacana membangun International Hub Port atau Hub Transhipment Port di Indonesia telah berkembang cukup lama. Namun tidak banyak yang mengetahui seberapa vital dan strategis pembangunan International Hub Port bagi perkembangan sektor riil di bidang ekonomi dan industri bila konsep tersebut dikembangkan di tanah air. Secara geografis Indonesia sangat diuntungkan dalam sistem perdagangan internasional melalui laut (sea borne traffic) karena menjadi lintasan kapal niaga dari mancanegara. Namun, keuntungan itu tidak dapat dioptimalkan sebagai sebuah peluang karena kebijakan yang keliru. Sudah saatnya Indonesia mempunyai International Hub Port. Di samping untuk mengurangi ketergantungan pada pelabuhan di Singapura dan Malaysia, juga kepentingan negara jauh lebih besar. Yaitu penghematan devisa negara. Misalkan setiap tahun ada sekitar 4,5 juta teus per tahun kontainer Indonesia yang mampir di Singapura atau Malaysia, maka devisa yang bisa dihemat negara sekitar minimal Rp 3,24 triliun sampai dengan Rp 3,64 triliun per tahun (tarif CHC US$ 90/teus). Sungguh angka yang besar.
10.  Masalah dari Hilir sampai dengan Hulu Industri Perikanan dan Kelautan di Indonesia dengan upaya untuk meningkakan Nilai Tambah Industri kita. Misalnya masalah budidaya rumput laut. Dikawasan timur Indonesia luasan budidaya laut cukup besar, namun tidak ada Industri rumput laut di daerah ini sehingga yang dijual hanya bahan mentahnya saja.
11.  Masalah-masalah Isu – Isu Global dan Ratifikasi Perjanjian Internasional yang sudah diakui oleh Indonesia dengan Negara lain. Misalnya : Biodiversity (Keanekaragaman Hayati), Pemanasan global, Ozon depletion, HAM, Woman in development (gender), ISO 9000, ISO 14000, HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point), dll. Juga terkait dengan Penangkapan di Laut Lepas (Ocean) untuk penangkapan Tuna misalnya Indian Ocean Tuna Commision, dll.
12.  Masalah Harta Laut yang terpendam di Laut Indonesia yang belum diperhatikan dan dikelola dengan baik.  Misalnya Harta Karun Cirebon Wreck yang merupakan peninggalan kebudayaan China. Untuk pertama kalinya, pemerintah menyelenggarakan lelang artefak yang bernilai jutaan dolar dengan sistem lot dan ternyata tidak ada pesertanya. Waktu sosialisasi dan penyelenggara yang tidak memadai  dituding sebagai salah satu penyebabnya.
13.  Masalah Kebijakan dalam melayari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang menjadi Jalur Internasional Pelayaran di Indonesia, ternyata masih disalahgunakan oleh Negara-negara lain.
14.  Masalah Kelautan sebenarnya harus diawali dari Kementerian yang mengelolanya yakni Kementerian Kelautan Perikanan (KKP). Kementerian ini jangan hanya terjebak pada persoalan ikan dan nelayan miskin saja (Perikanan). Kalau kita mau membangun negara maritim, seharusnya KKP menjadi leader pembangunan negara bervisi maritim. Dari enam Direktorat Jenderal yang ada di KKP hanya satu Dirjen baru yang mengurusi laut, itupun dengan anggaran yang sangat terbatas,  selebihnya  Ditjen – ditjen KKP  mengurusi Perikanan.
15.  Masalah lain yang turut berpengaruh adalah Integratif Perception diantara penyelenggaraan yaitu 3 (tiga) Pilar Hidup Berdemokrasi : Pertama Eksekutif (yang mengeksekusi kebijakan menjadi tindakan yang nyata berupa Program-program yang mendarat ke masyarakat pesisir. Kedua Legislatif yang bersama Eksekutif membuat Undang-undang yang “seharusnya” Pro kepada Rakyat, karena mereka yang dipilih oleh Rakyat. Dan Ketiga  Yudikatif yang mengeksekusi masalah-masalah Hukum bagi mereka yang melanggar peraturan-peraturan Hukum yang berlaku di NKRI.
Demikianlah penjelasan yang dikemukakan dalam blog ini dan dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan “Ocean Policy”  NKRI, sehingga Benar-Benar Kita dapat menjadi Negara Maritim yang Tangguh dan di Hargai.







                   





Tidak ada komentar:

Posting Komentar