Rabu, 14 Desember 2011

Kajian Pengembangan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) di Indonesia


I.      Pendahuluan
               Wilayah pesisir laut memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan ekosistem laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya.  Kekayaan sumberdaya alam pesisir tersebut menimbulkan daya tarik  berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan masyarakat  untuk memanfaatkan sumberdayanya  serta meregulasi pemanfaatannya.  Kekayaan sumberdaya alam di wilayah pesisir antara lain ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun berikut sumberdaya hayati, non hayati dan plasma nutfah yang terkandung didalamnya.
               Secara normatif kekayaan sumberdaya pesisir dan laut tersebut dikuasai oleh negara untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir sesuai pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar 1945.  Namun pada kenyataannya tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata yang paling rendah dibandingkan dengan segmen masyarakat darat lainnya.
              Pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan norma-norma konservasi dan kesejahteraan masyarakat pesisir belum berjalan secara efektif, sehingga di beberapa wilayah pesisir sudah mulai muncul fenomena pemanfaatan yang bersifat sektoral, exploitatif dan melampaui daya dukung lingkungannya.  Karena itu maka pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.17/Men/2008 Tentang  Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil., yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun  2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.

II.    Pengertian Konservasi dan Kawasan Konservasi
-       Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
-    Kawasan Konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

                Kawasan konservasi laut (KKL) secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati laut. Walaupun pengetahuan tentang KKL terus berubah-ubah dan meningkat tetapi penerapan dari teori teori untuk kawasan yang luas hampir belum ada. Beberapa teori merekomendasikan bahwa zona inti dalam KKL seharusnya melindungi lebih dari 20 % sumberdaya alam yang ada . Namum kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada. Salah satu contoh KKL yang dibentuk untuk menjamin konektivitas ekologi antara KKL adalah KKL Gulf of California yang meliptui 10 KKL dengan perbedaan habitat yang beranekaragam. (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008)
                 Pengertian KKL diusulkan oleh Komite Nasional Konservasi Laut (Komnaslaut) sebagai terjemahan resmi dari Marine Protected Area (MPA). Dengan mengadopsi definisi dari IUCN, KKL dibagi kedalam beberapa kategori yang dapat disetarakan dengan jenis KKL di Indonesia , definisi kategori tersebut adalah sebagai berikut :
               “Kawasan Konservasi Laut adalah perairan pasang surut  termasuk kawasan Pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan didalamnya, serta termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut.”
      Potensi Kawasan Konservasi Laut pada wilayah Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut :


   Pada tahun 2010 Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia menyampaikan Surat Edaran pada tanggal 21 Januari 2010 Nomor : 050/290/III/Bangda, bahwa Propinsi Jawa Tengah mempunyai komitmen dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan terkait dengan perlindungan   wilayah konservasi di wilayah pesisir, laut dan pulau - pulau kecil pada area segitiga terumbu karang (Coral Triangle Innitiative/CTI), serta upaya menjaga kelestarian terumbu karang termasuk mangrove dikawasan konservasi laut. Kedua sumberdaya pesisir ini berperan sangat penting sebagai ekosistem habitat vital.
   Sehubungan dengan hal tersebut maka pada Makalah ini perlu disampaikan secara komprehensip tentang Konsepsi Peran dari pemangku kepentingan dalam Pengembangan KKLD Propinsi Jawa Tengah sehingga dapat diimplementasikan dengan baik. Adapun  hal-hal yang terkait dengan Arah Kebijakan KKLD dapat di uraikan sebagai berikut :


I.      Arah Kebijakan Kawasan Konservasi Laut Daerah 
Ada 8 (delapan) arah kebijakan yang perlu disampaikan dalam pengelolaan dan pengembangan yang terkait dengan perlindungan wilayah konservasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di daerah.

1.    Untuk mewujudkan pengelolaan wilayah konservasi laut yang optimal, dibutuhkan kebijakan dan program yang disusun secara komprehensip, terencana, terpadu dan berkelanjutan sesuai kondisi, potensi, permasalahan dan kebutuhan nyata serta mengakomodir berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat :
Kawasan konservasi laut sesuai defenisi-nya  terletak di perairan pasang surut  termasuk kawasan pesisir dan  pulau-pulau kecil dimana pengaruh dan perubahan  ekosistem di darat sangat memberikan  pengaruh yang signifikan
Karena itu bila kita menganggap  bahwa Kawasan Konservasi Laut Daerah  tidak dapat berdiri sendiri dan dipengaruhi oleh ekosistem di atasnya  maka meningkatnya laju erosi tanah dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di  hulu akibat intensifikasi lahan kering dan aktifitas pengelolaan daratan, maka akan membawa sedimen dan residu bahan kimia pertanian ke estuaria dan wilayah pesisir sekitar muara sungai. Kasus sedemikian dapat juga terjadi dalam Pengelolaan pada KKLD  yang  didorong  oleh berbagai faktor berpengaruh. Petama; Ketidakmampuan Kapasitas Kelembagaan dalam mengatasi  isu dasar pengelolaan sumberdaya pesisir khusus pada kawasan konservasi. Berbagai kepentingan sektor, dunia usaha dan masyarakat semakin kuat mendominasi  isu-isu pengelolaan. Banyak pihak yang berkepentingan memanfaatkan sumberdaya pesisir di  wilayah yang sama terutama yang pembangunannya  pesat.   Masing-masing pihak yang berkepentingan memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang berwenang.  Setiap kebijakan yang dikeluarkan memuat tujuan dan sasaran yang   sering berbeda sehingga muncul kegiatan yang tumpang tindih pada suatu KKLD.  Untuk mencapai tujuannya setiap instansi menyusun perencanaan sendiri sesuai dengan tugas dan fungsi sektornya, tetapi kurang mengakomodasi kepentingan sektor lain, masyarakat setempat dan lingkungannya.  Tumpang tindih perencanaan akan memicu konflik pemanfaatan ruang dan kewenangan.  Persoalan pengelolaan wilayah pesisir semakin krusial menyusul UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Pasal 18 ayat (4) UU No. 32/2004 menetapkan bahwa wilayah kewenangan (yurisdiksi)  pemerintah daerah propinsi atas ruang lautan adalah sampai sejauh 12 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.  Sedangkan kewenangan pemerintah daerah kabupaten / kota atas ruang lautan yang berbatasan dengan pantainya  adalah sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi.   Otonomi daerah di wilayah pesisir telah menimbulkan perbedaan penafsiran, dimana timbul kesan  seolah-olah kewenangan tersebut sebagai kedaulatan/pengkaplingan wilayah laut berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan daerah. Begitupula dengan Penerapan Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3-K) yang menjadi acuan dibuatnya Permen KKP  Nomor  Per.17/Men/2008 Tentang  Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecilternyata mendapat pertentangan dikalangan stakeholder.  Sesuai Judicial Review Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor  03 / PUU-VIII/2010  Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun  2007 terhadap Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ada beberapa pasal yang mesti diperbaiki oleh Pemerintah dan DPR terutama tentang HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Terkait dengan Konservasi  dan Penataan ruang pesisir di Indonesia, Pemerintah Perlu Melibatkan Masyarakat Lokal seperti pada  Pasal 14 ayat (1) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir telah memotong hak masyarakat untuk bersama-sama dalam kedudukannya sebagai subjek hukum lainnya bersama-sama mempunyai hak mengusulkan penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP3-K) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3–K). Penutupan akses masyarakat untuk ikut serta dalam penyusunan rencana tersebut adalah salah satu bentuk perbuatan perbedaan perlakuan (diskriminatis treatment), sehingga berakibat hak konstitusional warga negara (terutama nelayan kecil sangat dirugikan atas ketentuan pasal tersebut. Menurut para Pemohon proses usulan yang hanya melibatkan Pemerintah Daerah dan dunia usaha telah menutup akses keterlibatan masyarakat, khususnya masyarakat lokal (Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor  03 / PUU-VIII/2010)
   Dalam rangka mencapai tujuan suatu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang baik  maka unsur esensialnya  adalah Keterpaduan (integration) dan Koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sumberdaya  pesisir harus berdasarkan kepada : (1) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir.  
Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu  yang berkembang.  Proses pelestarian wilayah pesisir secara terpadu memiliki  empat tahapan utama yaitu : (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi. Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan.  Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut.   
      Oleh   karena tujuan yang ingin dicapai adalah mewujudkan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b) keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder.  Dengan kata lain, penetapan  komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan / pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management  serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Prajitno, 2007).

2.    Dalam Upaya Meningkatkan Efektifitas Kawasan Konservasi Laut Daerah maka Kewenangan Penentuan Kawasan Konservasi diberikan Kepada Pemerintah Daerah, agar  Tidak Terjadi Tumpang Tindih dalam Penetapan Kawasan Konservasi.” :
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.17/Men/2008 Tentang  Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil  Bab III Bagian Kesatu dan Kedua dari Pasal 9 hingga pasal 23 yang membahas Penentuan dan Penetapan suatu Wilayah menjadi Kawasan  Konservasi Laut Daerah memang diberikan kepada Pemerintah Daerah sesuai batasan kewenangannya (Propinsi dan Kabupaten/Kota). Perairan Laut  paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah  kewenangan  provinsi  untuk  Kabupaten/kota.
  Masalahnya adalah banyak terjadi persoalan ketika kawasan konservasi laut daerah berada pada batas 2 atau lebih wilayah Provinsi maupun Kabupaten/Kota sehingga bisa saja terjadi permasalahan antar Provinsi maupun Kabupaten / kota yang berbatasan tersebut. Kasus yang terjadi pada Kawasan Taman Laut Pulau Pombo antara 2 (dua) Kabupaten di Maluku Tengah. Hal ini dikarenakan jarak pulau yang menjadi kawasan konservasi tersebut di sampai 1/3 mil sebagai batas kewenangan Kabupaten Salahutu dan Kabupaten Lease. Hal ini perlu diantisipasi oleh Pemerintahan Propinsi maupun Pemerintah Pusat khususnya dalam menerapkan peraturan yang memiliki situasi dan kondisi wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang berdekatan dan memiliki otoritas pemerintahan (Propinsi / Kabupaten /Kota) yang berbeda-beda serta menghindari adanya tumpang tindih dalam penentuan dan penetapan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi laut.
           Pada Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor Per.17/MEN/2008  sebenarnya telah diupayakan untuk mengantisipiasi hal dimaksud, seperti yang tertulis pada Bab IV Pasal 24 sampai dengan pasal 28 tentang Kewenangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K)  dan Kawasan Konservasi Maritim (KKM).
           Satu hal lagi yang perlu dibahas terkait dengan Penentuan dan Penetapan suatu wilayah menjadi KKLD adalah “Adanya Kebijakan Terintegrasi antara Pemangku Kepentingan, bukan saja dengan Masyarakat yang menjadi Permasalahan, tetapi juga Antar Departemen Terkait khususnya Kementerian Kehutanan dengan PHKA-nya dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ada dualisme dalam penyelenggaraan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Untuk membandingkan proses penetapan antara kedua Kementerian ini dapat dilihat pada gambar 2 dan 3 berikut ini.

Dari kedua gambar tersebut maka dapat saja terjadi benturan-benturan dalam pelaksanaan penentuan dan penetapan kawasan konservasi laut daerah, sehingga Gubernur, Bupati dan Walikota dapat mengelola SKPD-nya sehingga dapat berjalan dengan baik dan tidak ada konflik antar departemen. Kementerian Kehutanan
1.    “Membentuk dan Memperkuat Lembaga Pengelola Kawasan Konservasi Laut Daerah dengan Penetapan Melalui Keputusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sehingga Manfaat Kawasan Konservasi Dapat Dirasakan oleh Masyarakat. “ :
Hal ini sesuai dengan Amanat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Nomor Per.17/MEN/2008 Bab I Pasal 1 butir 19 tentang Pengertian Unit Pengelola Kawasan Konservasi Laut. “ Unit pengelola kawasan konservasi adalah satuan unit organisasi pengelola kawasan konservasi yang berbentuk UPT pusat, SKPD atau UPT daerah atau bagian unit dari satuan organisasi yang menangani konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.”
Dengan mengkaji defenisi di atas maka dapat dilihat bahwa Lembaga Pengelola kawasan konservasi laut di daerah memiliki 2 (dua bentuk) yaitu mereka yang adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Tingkat Pusat yang sesuai amanat peraturannya memiliki kewenangan dalam Kawasan Konservasi yang bersifat Nasional  sesuai Pasal 25 ayat 1 huruf  (a)  dan (b)  yang menyatakan :
Kewenangan pengelolaan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf  a,  meliputi:
a. perairan dan/atau wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berada    dalam wilayah kewenangan pengelolaan lintas provinsi; dan
b. perairan dan/atau wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki  karakteristik tertentu, antara lain:
1) nilai dan kepentingan konservasi nasional dan/atau internasional;
2) secara ekologis dan geografis bersifat lintas negara;
3) mencakup habitat yang menjadi wilayah ruaya jenis ikan tertentu; dan
4) potensial sebagai warisan alam dunia atau warisan wilayah regional.

Begitupula dengan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) atau UPT Daerah atau Bagian Unit Organisasi yang tentunya ditetapkan oleh pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota yang berwenang melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi sesuai batas-batas wilayah  yaitu 12 mill  laut untuk pemerintah propinsi dan 1/3 dari 12 mill laut atau 4 mill untuk pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan untuk Kawasan Konservasi Maritim (KKM) kewenangan sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota.
         Pembentukan Lembaga pengelola kawasan konservasi laut daerah seharusnya terlepas dari isu-isu politik dan melibatkan masyarakat adat yang ada pada wilayah tersebut. Proses pelibatan masyarakat adat bukan saja untuk mendengar dan menyetujui setiap keputusan di dalam lembaga pengelola konservasi laut  daerah, tapi mereka juga turut memberikan masukan  dan membuat dan menyusun kebijakan-kebijakan operasional di  dalam lembaga tersebut.
 Contoh Kasus : dari penjelasan  Concervation International (CI), tahun 2007 yang sudah dilaksanakan  di Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Papua Barat. Dengan keterlibatan masyarakat adat maka pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat dilangsungkan karena adanya dukungan dari  akar rumput (grassroot). Tentu saja, tidak serta merta mendeklarasikan kawasan ini menjadi sebuah kawasan konservasi laut yang tidak dikenal dimana garis dan tempatnya. Keinginan masyarakat untuk melindungi kawasan lautnya supaya terus dapat lestari dimulai dengan upacara pengukuhan secara adat di empat kampung: Kampung Waifoi, Selpele, Pulau Wayang dan P Sayang, dari tanggal 17 hingga 19 November 2006. Setelah itu para pemangku adat menyerahkan mandat ini kepada Bupati Marcus Wanma pada bulan Desember 2006, dalam sebuah prosesi yang dikepalai oleh para ketua adat setempat. Saat itu perwakilan adat dari empat pulau besar di Raja Ampat hadir mengikuti prosesi adat yaitu: Fery Fatot dari P. Misool, Abdullah Umalelen dari P. Salawati, Konstan Mambrasar dari Kofiau, Zailan Kaapa dari Teluk Mayalibit (mewakili P. Waigeo), Mandat adat ini juga disetujui oleh dua institusi adat Raja Ampat yaitu Ketua Dewan Adat Suku Maya, Tuan Yohanes Arampele dan Ketua Lembaga Masyarakat Adat Kalanafat, Fun Kalana Taher Arfan. Selain disaksikan oleh beberapa tokoh adat dari beberapa tempat yang akan dijadikan KKLD. Acara tersebut juga dihadiri oleh Bupati Kabupaten Raja Ampat, Marcus Wanma, yang kemudian menandatangani prasasti untuk tujuh KKLD yaitu Kofiau-Boo, Misool Timur Selatan, Wayag - Sayang, Teluk Mayalibit, Selat Dampier dan Kepulauan Ayau-Asia.

 4/5. “Menyusun Kebijakan Operasional Pengelolaan dan Pemanfaatan kawasan Konservasi Laut Daerah” dan “Meningkatkan Dukungan Anggaran (APBD) kabupaten/kota dalam Pengembangan KKLD. Dukungan Anggaran tersebut diarahkan untuk Meningkatkan Program-Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat di sekitar Kawasan Konservasi Laut “ :
Kapasitas Kelembagaan yang mengelola kawasan konservasi laut daerah perlu  sekali ditingkatkan. Umumnya setelah suatu lembaga dibentuk dan ditetapkan  dalam suatu keputusan berupa Peraturan Daerah maka untuk mensinergikan dengan  pembangunan di wilayah tersebut perlu disusun dan dibuat kebijakan operasional pengelolaan dan pemanfaatan KKLD. Kewenangan dalam menyusun kebijakan operasional pengelolaan dan pemanfaatan KKLD haruslah dilaksanakan secara terintegrasi antara pemerintah daerah, lembaga pengelola yang telah dibentuk dan juga masyarakat sehingga program-program tersebut dapat berjalan dan dilaksanakan dengan baik. Akhir-akhir sering terjadi di daerah Proyek atau Program Pembangunan yang hanya bersifat seremonial untuk menghabiskan anggaran tanpa melihat jauh ke depan terkait dengan keberlanjutan proyek atau program tersebut untuk memberdayakan masyarakat. Setelah Proyek atau Program tersebut selesai maka berakhir pula aktifitas masyarakat, hal ini yang perlu diperhatikan sehingga kebijakan-kebijakan yang bersifat operasional dapat secara bertahap dan memiliki nilai kontinuitas yang tinggi. Untuk mensukseskan setiap kebijakan operasional KKLD perlu adanya Jejaringan (Networking) antara KKLD yang ada di dalam Propinsi/Kabupaten/Kota maupun antara Propinsi. Jejaring ini sangat berguna untuk mengikatkan hubungan antar KKLD sehingga ada informasi yang saling mengisi  yang mempresentasikan daya lenting spesies dan habitatnya untuk mencapai keseimbangan ekosistem melalui pengelolaan bersama. Karena kita tahu bersama bahwa sumberdaya alam pesisir dan laut bukan saja bersifat menetap seperti terumbu karang, lamun, dan lain-lain tapi juga sumberdaya yang beruaya (migration) tetap maupun tidak tetap seperti ikan, crustacea, dll. sehingga perlu adanya Jejaring KKLD yang akan mengawasi dan menginformasikan bila terjadi hal dimaksud. Gambar 2. berikut ini menunjukan proses Pelaksanaan Jejaring dan Pembuatan Program-program Pelaksanaan KKLD yang telah dilakukan sebelumnya. Adanya Jejaring KKLD ini juga mempermudah Kelembagan Pengelolaan Kawasan Konservasi untuk Merencanakan Program, melaksanakan fungsi monitoring dan pengawasan serta mendapatkan Umpan balik untuk mengevaluasi dan kembali Merencanakan Program pada tahun yang akan datang.

Terkait dengan anggaran yang ditetapkan dalam upaya pelaksanaan program-program KKLD yang akan masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Propinsi/Kabupaten dan Kota maka perlu dibuat rincian anggaran yang dapat menunjukkan prioritas setiap program kegiatan yang akan dijalankan sesuai dengan Tahun Anggarannya. Tentunya dalam memuluskan tercapainya anggaran yang dimaksudkan perlu adanya kerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selain memiliki Fungsi Legislasi dan Pengawasan juga berfungsi dalam Penganggaran bersama Pemerintah Daerah. Umumnya dalam melihat Urgensi suatu Anggaran di DPRD maka mereka akan memperhatikan peruntukan Anggaran tersebut bagi Kesejahteraan Masyarakat. Seperti  diketahui bersama bahwa dalam 1 (satu) kawasan konservasi terdapat 3 (tiga) zona atau wilayah (Permen KP Nomor : Per.17/MEN/2008 Bab V Bagian Kedua Pasal 31 – 33) : yakni Zona Inti, Zona Pemanfaatan Terbatas dan Zona Lainnya. Dengan memperhatikan aspek ekonomi masyarakat maka perlu dibuat Program-program yang berupaya untuk memberdayakan masyarakat yang berada di  sekitar kawasan konservasi laut daerah, misalnya untuk memanfaatkan usaha mereka dalam zona pemanfaatan maupun zona lainnya (zona tertentu atau zona   rehabilitasi).
     Berbagai mekanisme Pendanaan Anggaran dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kategori berdasarkan kesamaan ciri pendekatan yang mendasarinya, dan sesuai dengan prinsip kepraktisan penerapannya di Indonesia, seperti : Orientasi pada donor, Orientasi pada Pemerintah, Orientasi pada Pasar, Dana Lingkungan, Orientasi Komunikasi Publik atau Panggilan Nurani, Orientasi Usaha, Peraturan Pemerintah, Orientasi pada usaha Swasta. (Departemen Kelautan Perikanan, 2007)
 
6. “ Meningkatkan Kapasitas SDM, dapat  dilaksanakan dengan pelatihan-pelatihan dan memberikan beasiswa untuk melanjutkan studi bagi para pengelola konservasi laut daerah. Hal ini penting dilakukan guna meningkatkan pengetahuan mereka tentang KKLD” :
Suatu Lembaga akan maju dan berkembang bila mereka mampu meningkatkan sumberdaya manusia yang ada dalam lembaga tersebut. Dengan kapasitas SDM yang baik maka tentunya akan meningkatkan kapasitas kelembagaan KKLD.
Isu-isu Pemanasan Global dan Perubahan Iklim (Climate Change) yang santer dipublikasikan di seantero dunia ini menyebabkan  begitu banyak kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah yang memperoleh dukungan organisasi lingkungan dunia. Masyarakat dunia mulai bersuara bahwa wilayah pesisir dan laut berperan pula dalam perubahan iklim karena laut memiliki ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang berpotensi dapat menyerap Karbondioksida (CO2). Sementara mereka melihat bahwa keseimbangan laut menjadi terusik akibat  perubahan iklim dengan adanya kenaikan permukaan air laut  (sea level rise). Pemahaman ini yang menyebabkan adanya berbagai kerjasama Program misalnya Coral Reef Management Project/COREMAP ; Mangrove For Future/MFE ; Coral Triangle Initiative/CTI dan lain-lain dengan berbagai Organisasi Lingkungan dunia seperti WWF, Conservation International, UNDP, The Nature Conservancy, JICA, dll.
Tentu dengan adanya lembaga lembaga internasional ada program-program yang meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dan institusi pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas mereka mengawal lingkungan hidup khususnya Konservasi Laut Daerah. Pelatihan-pelatihan berupa Lokakarya, TOT, Diklat dan lain-lain tentang Lingkungan Hidup Laut seperti :
a.    Membuat terumbu buatan (Artificial Reef),
b.    Transplantasi dan Replantasi Terumbu Karang,
c.    Pembenihan dan Penanaman Mangrove,
d.    Pengawasan dan Monitoring Lingkungan Hidup,  
e.    Peningkatan Kapasitas Kelembagaan (KKLD, Sasi, Kewang) dll.
Hal ini  akan memberikan pengetahuan yang baru bagi masyarakat dan lembaga-lembaga pengelola kawasan konservasi laut daerah.

Contoh Kasus  : Kerjasama Concervation International (CI) dengan Masyarakat Adat di Kabupaten Raja Ampat untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan Lembaga Adat dalam Pemeliharaan Lingkungan Laut mereka. Dulunya masyarakat pesisir disana adalah nelayan yang menggunakan dinamit dan cara-cara yang merusak lainnya untuk mengambil terumbu karang di kepulauan Raja Ampat. Seiring waktu, mereka mulai memperhatikan kalau populasi ikan terus berkurang, dan kemudian atas inisiatif bersama mereka mendekati Conservation International (CI) untuk meminta bantuan memulihkan terumbu karang. Sekarang, mata pencaharian masyarakat tetap melaut namun mereka tetap berusaha melindungi terumbu karang yang sama yang sebelumnya ia hancurkan. Beberapa dari masyarakat ini menjadi bagian dari tim Conservation International (CI) di Bentang laut Kepala Burung Papua. Melalui proyek pendidikan daerah, masyarakat lokal menyadari bahwa keanekaragaman hayati mereka dalam bahaya, dan bahwa tindakan serius diperlukan untuk melindunginya. Salah satu metode yang telah berhasil dilaksanakan adalah sistem sasi. Sasi merupakan sebuah mekanisme masyarakat yang berfungsi mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan, merupakan sebuah tradisi tua di Papua dan kebanyakan provinsi lainnya di Indonesia, dengan batasan-batasan khusus yang ditetntukan pleh perjanjian masyarakat. Contohnya, suatu desa memilih hanya membuka terumbu karang tertentu untuk menangkap ikan selama 2 minggu dalam 1 (satu) tahun dan bahkan kemudian hanya lobster, teripang dan moluska yang bisa ditangkap. Penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit sudah dilarang selama ini, seperti kompresor oksigen yang akan meningkatkan jumlah hewan-hewan yang bisa ditangkap oleh setiap nelayan. 
Kesepakatan Sasi sering disertifikasi oleh Gereja Lokal atau Masjid, hal ini mendorong nelayan ntuk menghormati batasan-batasan mereka. Dalam empat tahun sejak bentang laut didirikan, tim patroli masyarakat hampir menghilangkan dieliminasi penangkapan ikan ilegal di enam jaringan wilayah lindung laut di Raja Ampat yang diambil istilahnya dari Marine Protect Areas/MPAs). Upaya besar yang dilakukan orang-orang digabungkan dengan peningkatan dramatis jumlah spesies yang ditemukan di daerah selama beberapa tahun terakhir - telah meningkatkan dukungan lokal untuk konservasi. Pendidikan tentang konsekuensi akibat kepunahan spesies mendorong komunitas Gereja Lokal dari pulau-pulau Ayau di Raja Ampat utara mengirim surat ke CI. Empat tahun sejak Bentang laut Kepala Burung Papua didirikan, tim patroli masyarakat telah hampir mengurangi penangkapan ikan ilegal di enam jaringan wilayah laut yang dilindungi di Raja Ampat.  Kegiatan ini merupakan ambisi besar CI di bentang laut Kepala Burung Papua, tempat dimana upaya konservasi dilaksanakan di semua sector dan masyarakat, dengan luasan skala dan geografi yang luasnya sama dengan Negara Kamboja.
Tahun 2008, CI dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) meluncurkan program 2 (dua) tahunan peningkatan kapasitas pengelolaan MPAs untuk memberdayakan tokoh masyarakat membuat  konservasi cerdas da keputusan pembangunan.  CI terus menjadi partner penting bagi masyarakat lokal yang sering meminta staf CI untuk hadir pada pertemuan dengan pemerintah, untuk membantu memberikan suara konservasi masyarakat. Mereka juga berharap mengembangkan kapasitas mereka untuk kegiatan mata pencaharian yang berkelanjutan lainnya, seperti ekowisata. Dalam Bentang Laut Burung Papua's Head Seascape (bersama dengan bentang laut lainnya di seluruh dunia), keberhasilan ditingkat masyarakat seperti sistem sasi didukung oleh kebijakan dan kapasitas kuat di tingkat provinsi dan nasional. CI mendukung kerjasama dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, industri swasta dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Pelibatan Masyarakat dalam KKLD juga penting sehingga mereka pun dapat memberikan masukan bila ada Penentuan KKLD yang baru dan diusulkan dari masyarakat, hal ini didukung oleh Ditjen Konservasi, Kementerian Kelautan Perikanan RI., seperti terlihat pada gambar berikut ini :

  Berbeda dengan proses pembentukan kawasan konservasi laut sebelumnya, proses ini merupakan inisiatif dari masyarakat. Kawasan pelestarian ini dikembangkan dari, untuk dan bersama masyarakat setempat dengan luas, tujuan dan cara pengaturan yang sangat beragam, tergantung dari kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat setempat. Kebanyakan dari kawasan konservasi laut yang dibentuk atas dasar masyarakat ini berdasarkan adat istiadat, sosial budaya serta kesepakatan baru diantara masyarakat.

7. “ Meningkatkan Sistem Pengawasan (Fisik dan Non Fisik) Pengelolaan Pemanfaatan KKLD. Misalnya Penambahan Sarana dan Prasarana Pengawasan (Fisik) dan Memperketat Aturan Pemanfaatan Sumberdaya Kawasan Konservasi Laut (Non-Fisik) agar Sesuai dengan Karakteristik dan Daya Dukunganya ”. :
Sistem Monitoring dan Pengawasan sesuai Permen Nomor Per.17/MEN/2008 adalah Monitoring sumberdaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf c, dilakukan melalui kegiatan pemantauan tingkat perkembangan pelaksanaan pengelolaan, kebutuhan dan permasalahan yang timbul di lapangan, dan penyelesaian permasalahan yang kemungkinan terjadi dalam pengelolaan,  Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara berkala minimal sekali dalam satu tahun dan insidentil apabila ditengarai adanya penyimpangan atau permasalahan oleh unit pengelola kawasan konservasi maupun unit kerja pembina.       
         Sedangkan Pengawasan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf e Permen tentang Konservasi di kawasan WP3-K, dilakukan melalui kegiatan penjagaan dan/atau patroli oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang menangani bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta menjalin komunikasi antara unit pengelola kawasan dengan masyarakat adat.
        Banyak terjadi Kasus dalam suatu Lembaga dan organisasi  adalah : “Tidak diselesaikannya suatu Penugasan, Tidak ditepatinya waktu Penyelesaian (deadline), Suatu Anggaran yang Berlebihan dan Kegiatan-kegiatan lain yang Menyimpang dari Perencanaan. Adanya Monitoring dan Pengawasan secara Internal maupun eksternal akan “Memberikan Jaminan Bahwa Kegiatan-kegiatan yang Dilaksanakan Sesuai dengan yang Direncanakan”. (Handoko, 2010)
          Terkait dengan Pengelolaan KKLD maka Sistem Pengawasan harus dikuatkan dengan Meningkatkan Wawasan Para Pengawas dengan berbagai Pelatihan tentang Kapasitas Pengawasan Kawasan Konservasi yang bersifat teknis, sebab bukan saja Pemanfatan oleh Manusia (aspek Sosial Ekonomi) tapi pertumbuhan Sumberdaya Alam seperti Terumbu karang, Ikan, Mangrove, dll.(aspek Biologi). Untuk memperlancar proses Monitoring dan Pengawasan perlu disiapkan sarana dan prasarana penunjang yang handal sehingga mereka dapat menjangkau KKLD yang begitu luas dengan kondisi-kondisi alam yang ekstrem, dapat dilalui. Misalnya Penyiapan Kapal Pengawasan KKLD yang memiliki kelengkapan navigasi dan informasi yang memadai,  Menyiapkan tenaga Pengawas yang handal dan memahami tupoksi-nya karena bukan saja mereka akan menghadapi Sumberdaya alam yang bersifat tetap tetapi juga dengan masyarakat tradisional yang perlu pendekatan humanis.
        Pengawasan ketika dilaksanakan tentunya dengan adanya Penetapan Standar (satuan pengukuran sebagai patokan untuk menilai) baik bersifat Fisik (jumlah biota yang hidup/mati, kualitas tumbuh, dll) ; Moneter (penggunaan biaya, pembelian barang, dll.) dan Standar Waktu meliputi kecepatan tumbuh biota konservasi, batas waktu pekerjaan yang harus diselesaikan, dll. Setiap Standar Pengawasan tersebut harus dapat terukur dan dinilai sehingga dapat dijadikan acuan untuk melaksanakan Fungsi Evaluasi dari Umpan Balik yang dilakukan, hal ini yang disebut sebagai Pengawasan Umpan Balik (Feedback Control).
        Sekarang ini untuk mengawasi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pemerintah maupun lembaga swadaya masayarakat telah berupaya untuk memberdayakan  komponen masyarakat mengawasi lingkungan alamnya dari pemanfaatan oleh masyarakat itu sendiri. Pelibatan masyarakat dalam pengawasan telah dilakukan pada wilayah-wilayah masyarakat adat dimana kelembagaan adatnya telah berfungsi dengan baik seperti dilakukan di Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, di Nusa Tenggara Timur, di Maluku, dll.

8. “Penyusunan Tata Ruang  dan Pengelolaan KKLD pada Tata Ruang Pembangunan Daerah (RTRW Kabupaten/Kota)” :

Hal ini dimaksudkan agar pemerintah lebih mudah dalam mengawasi pengelolaan KKLD, selain itu juga agar pembangunan di wilayah konservasi sesuai dengan peruntukannya. Terkait dengan peruntukan wilayah bagi konservasi maka perlu disampaikan gambaran wilayah yang berpotensi dalam pelaksanaan konservasi dengan rincian luasannya sebagai berikut :

Dari gambar 6, terlihat bahwa kawasan konservasi di Indonesia terbagi atas 6 (enam) kawasan yang memiliki  Ekosistem Laut dengan potensi luasan seperti pada Tabel 1., yang bila dilihat  wilayah pengelolaan VI memiliki luas yang besar dibandingkan dengan wilayah lainnya sebesar 78.740.000 ha atau 787.400 Km2.
Sedangkan usulan pemerintah sampai dengan tahun 2020, potensi KKL di Indonesia adalah sebesar 62.000.000 atau 620.000 Km2 seperti terlihat pada Tabel 2 berikut ini : ..........

Terkait dengan RTRW Kabupaten/kota maka Pengelolaan KKLD harus didasari dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3-K) sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor : Per.16/MEN/2008 tentang Perencanaan PWP3-K,  pasal 15 ayat 4 yang berbunyi : Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dimanfaatkan untuk zona konservasi perairan, konservasi pesisir dan pulaupulau kecil, konservasi maritim, dan/atau sempadan pantai.
         Pembentukan KKLD juga perlu memperhatikan perundangan yang terkait dengan Penataan Ruang seperti Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 dan Peraturan Menteri  Pekerjaan Umum Nomor  : 17/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana  Tata Ruang  Wilayah  Kota. Di dalam perundangan tersebut Kawasan Konservasi Laut Daerah dikatagorikan sebagai Kawasan Strategis Kabupaten/Kota dan Rencana Pola Ruang sebagai Kawasan Lindung.
         Kawasan Strategis pada KKLD  merupakan kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagai berikut :
1.  Tempat perlindungan keanekaragaman hayati;
2. Kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan;
3.  Kawasan yang memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian; 
4.  Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; 
5. Kawasan yang menuntut prioritas tinggi untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup; 
6.  Kawasan rawan bencana alam ; dan/atau
7. Kawasan yang sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan.
     
     (Bab II Pasal 4 butir (f) Permen PU Nomor :  17/PRT/M/2009)
 
Karena itu KKLD dengan 3 (tiga) Zona yang ada (Zona Inti, Pemanfaatan Terbatas, dan Zona Lainnya) harus mempertimbangkan penataan ruang wilayah kabupaten dan kota sehingga tidak terjadi “overlapping” penggunaan wilayah yang dapat menyebabkan terjadinya konflik yang bersifat horizontal antara pemangku kepentingan maupun secara vertical antara masyarakat dengan pemerintah daerah. Kerangka Pemikiran Pembentukan Kawasan Konservasi Laut seharusnya dalam pengelolaan kewilayahaannya  tidak dapat dipisahkan dengan Kebijakan Penata Ruang Nasional (TMNL, TWAL, dll) ; Propinsi (KKDL, CKKDL, dll) dan Kabupaten/Kota (DPL/MPA, DPM dan SP). Konsep kerangka pikir  dapat dilihat ini dapat dilihat  pada Gambar 7. : .........

 Pustaka :

--------- Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor  Per.16/Men/2008 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan  Jakarta.
--------- Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor  Per.17/Men/2008 Tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

---------  Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 17/Prt/M/2009 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

--------- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  27  Tahun 2007  Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

---------  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor   45   Tahun   2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang  Perikanan.

Dahuri Rokhmin, Jacob R., Sapta P. G dan Sitepu, M.J.,2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2007  Jejaring Kawasan Konservasi Laut Indonesia. Penerbit Departemen Kelautan dan Perikanan kerjasama dengan COREMAP II.

Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kerjasama dengan JICA-Japan, 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia. Penerbit Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Jos Pet and J, Peter, 2003. Kawasan Konservasi Laut Dan Manfaatnya Bagi Perikanan. Penerbit The Nature Conservancy – Southeast Asia Center for Marine Protected Areas, Sanur, Bali, Indonesia. ph. +62-(0)361-287272, fax +62-(0)361-270737.

Khasanah,SH.,2008. Analisis Pengaturan Tentang Wilayah Laut Daerah Kabupaten Batang Dalam Rangka Mewujudkan Renstra Berdasarkan Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

Prayitno Budi S., 2007. Penanganan Masalah Pengelolaan dan Penataan Wilayah Pesisir. Makalah Seminar : Dukungan Penelitian Pada Pola Ilmiah Pokok Universitas Diponegoro – Semarang.
www.concervation.go/indonesia/rajaampat. Konservasi Bermula dari Daerah. (diunduh tanggal 3 Desember 2011).
www.concervation.go/indonesia/rajaampat. Monitoring dan Pengawasan Terumbu Karang oleh Masyarakat Adat Kabupaten Raja Ampat - Papua Barat. (diunduh tanggal 4 Desember 2011)







1 komentar:

  1. Perlu beberapa perbaikan dan diedit dengan baik, entar aja, disimpan dulu-lah....

    BalasHapus